Skip to main content

Risalah Sunyi, Antologi Puisi Hari Kelahiran

 


Judul: Risalah Sunyi, Antologi Puisi Hari Kelahiran
Penulis: Yuliani Kumudaswari et.al.
Editor: Indro Suprobo, Ons Untoro
Isi: 14 X 20 cm, xviii + 276 hlm 
Cetakan Pertama: Juli 2025
Penerbit: Tonggak Pustaka

SERINGKALI kita menemukan puisi, yang ditulis untuk dirinya sendiri, atau untuk orang lain. Momentum kelahiran memberi inspirasi penyair menulis puisi. Bahkan, bukan penyair tidak dilarang menulis puisi di hari ulang tahunnya.

Setiap orang memiliki bulan kelahiran. Tanggal dan bulan bisa sama, bisa pula berbeda, meski dalam satu keluarga. Misalnya, ayahya lahir 6 Desember, anaknya 15 Desember dan ibunya 3 Juni. Perbedaan, tanggal dan bulan kelahiran, bagi penyair bisa memberi insipirasi untuk bersama menulis puisi dalam satu buku, misalnya yang lahir bulan April bersepakat menulis puisi dengan tema bulan April.

Buku puisi yang diberi judul ‘Risalah Sunyi’ ini mengolah bulan kelahiran masing-masing, sehingga puisi kelahiran dari bulan Januari sampai Desember terdapat dalam buku ini. Tanggalnya bisa berbeda, namun bulannya sama. Puisi bulan Januari misalnya, ada 11 penyair. Ini artinya, 11 penyair bulan kelahirannya sama: Januari, dan tanggalnya berbeda-beda. Dalam kata lain, 100 penyair di dalam buku ini menulis bulan kelahiran masing2 dari bulan Januari sampai Desember. Masing2 bulan jumlah puisinya tidak sama.


Mengapa bulan kelahiran?

Awalnya, Yuliani Kumudaswari, yang setiap tahun, di bulan Juli selalu menerbitkan buku puisi untuk menandai ulang tahunnya. Ini kali, Juli tahun 2025, Yuliani tidak menerbitkan buku puisi untuk dirinya, tidak juga meminta orang lain menulis puisi untuk menandai ulang tahunnya, dan diterbitkan menjadi buku. Yuliani memilih, mengajak semua temannya yang dikenal, menulis puisi di hari ulang tahunnya untuk menandai ulang tahunnya di bulan Juli 2025, dan akhirnya, yang terjadi, semua merayakan ulang tahunnya masing-masing di bulan Juli 2025, bulan di mana Yuliani Kumudaswari ulang tahun. Jadi, bisa dikatakan, bulan Juli 2025 ‘menyatukan’ semua bulan untuk bersama merayakan bersama.


Mengapa puisi yang dipilih?

Mungkin puisi jumlah barisnya pendek, berbeda dengan cerpen, sehingga ada banyak puisi bisa masuk dalam satu buku. Bayangkan kalau ada 100 cerpen masing-masing minimal 5 halaman,  jumlah buku menjadi tebal. Puisi, yang pendek barisnya, bisa memilih 2 atau 3 puisi, sehingga jumlah buku, meski tebal, namun tidak setebal cerpen.

Padahal, kita tahu, menulis puisi tidak mudah. Kelihatanya barisnya hanya pendek. Justru baris pendek itu, yang membuat menulis puisi tidak gampang. Karena, dalam jumlah baris pendek, misalnya maksimal 40 baris, puisi harus bisa bercerita banyak

Para penyair dalam buku puisi ini, datang dari berbagai kota di Indonesia. Sebagian besar dari mereka sudah lama menulis puisi dan dikenal sebagai penyair di Indonesia. Sebagian besar buku puisinya sudah diterbitkan, dan tidak hanya satu buku puisi, malah lebih dari 2 buku puisi.  Ini artinya, para penyair merenungkan bulan kelahiran, dan kemudian menulis puisi. Sesungguhnya, yang susah adalah proses perenungan itu, sehingga menulis puisi bukan proses instan. Karena penyair hidupnya selalu merenung, dan dalam merenung tidak selalu harus menyendiri di kamar, atau mengambil tempat sepi, melainkan proses merenung bisa dilakukan sambil berbincang dengan teman dan seterusnya, maka momentum puitis selalu bisa ditangkapnya, dan lahirlah puisi.


Risalah Sunyi

Judul buku puisi ini diambil dari puisi karya Bambang Widiatmoko, seorang penyair Yogya, yang sekarang tinggal di Bekasi. Salah satu puisi Bambang yang ada di dalam buku ini berjudul ‘Risalah Sunyi’. Judul puisi ini, rasanya bisa mewakili puisi-puisi lainnya untuk menjadi judul buku.

Kita tahu, kelahiran bukan hanya karena hubungan dua sejoli, lebih dari itu, kelahiran adalah anugerah Tuhan. Karena itu, kata ‘risalah’ menjadi penting untuk ‘menyatukan’ semua bulan kelahiran.

Kita awalnya di ruang sunyi, tidak mengenali siapapun. Namun Tuhan hadir di sana, menemani, dan pada akhirnya mempertemukan dengan dunia. Pada saat bertemu dunia, kita bergembira dengan ekspresi menangis. Jadi, tangis bayi pada saat dilahirkan lepas dari ruang sunyi, untuk bertemu ruang yang lebih luas, yang sering disebut antara jagad kecil dan jagad besar. Sunyi dalam dua jagad memiliki suasana dan nuansa berbeda.

Penyair mengenali, dan menerangkan suasana dan nuansa itu, dan menulis puisi dengan imajinasi berbeda-beda. Sambil mengenang kelahirannya, Bambang berbisik pada dirinya sendiri melalui dua baris pertama dalam puisinya, yang berjudul ‘Risalah Sunyi’:


Tentu aku tak mampu mengingat dan mencatat

Awal segala kisah kehidupan bermula


Begitulah, kita tidak pernah akan ingat ‘awal segala kisah kehidupan bermula’. Namun, cerita kisah mengenai hal itu bisa didengar dari orang tuanya, misalnya ibunya. Namun, dirinya tak bisa mencatatnya, dan hanya, sekali lagi hanya, mendengar.

Dan kenangan akan masa lalu kelahiran itu, lagi-lagi hanya mengenang kesunyian. Mengingat ruang sunyi. Lagi-lagi, mengenang akan hal itu, Bambang berbisik :


Dan setiap memasuki bulan Oktober setiap tahunnya

Aku hanya mampu tersenyum dan memawas diri 

di tempat sepi.


Begitulah. Melalui bulan kelahiran, kita semua hanya bisa mengenag ruang sunyi. Untuk mengenang pertemuan dengan dunia yang terang, seringkali kita menandai dengan lilin. Agar kita mengingat kembali ke ruang sunyi, lilin yang menyala itu kita tiup, agar cahanya mati, dan kita (seolah) kembali berada di ruang sunyi. Bukan dengan tangis seperti ketika lahir, melainkan dengan bernyanyi. Maka, menangis dan bernyanyi merupakan kegembiraa dua masa berbeda: kelahiran dan kenangan.

Melalui buku puisi ‘Risalah Sunyi’ kita bersama mengenang ruang sunyi. Masa lalu yang tak bisa kita catat, namun di masa kini, kita bisa mengubahnya menjadi puisi.


Ons Untoro

Indro Suprobo