MEMBACA tulisan para lansia yang terhimpun dalam buku bertajuk (Lansia) Indonesia Tanpa Ruang Publik, mem-buat saya takjub. Karena, para lansia yang usianya di atas 60 tahun, bahkan ada yang mencapai 80 tahun, masih rajin menulis. Biasanya, lansia yang sudah pensiun, mengisi waktu dengan melakukan rekreasi, atau bermain dengan cucunya. Singkat kata, tidak lagi melakukan aktivitas yang ‘memeras’ atau mendayagunakan pikiran.
Saya kian tertarik, justru karena mereka sudah lansia, lan-sia muda (60-65 tahun) maupun di atas lansia muda. Pada usia tersebut, aktivitas menulis masih terus dilakukan, pikir-an tidak dibiarkan berhenti untuk bekerja, namun dijaga agar terus digunakan, sehingga dalam usia senja pikiran tetap jer-nih dan waras.
Yang mengundang decak kagum, ini bukanlah buku yang pertama kali diterbitkan sebagai upaya memberi ruang bagi para lansia untuk menulis. Pada bulan Mei tahun 2024 mere-ka bersama-sama menulis dalam satu buku berjudul ‘Kita Lansia: Terus Berkarya, Bahagia, Penuh Berkah’.
Para penulis ini berasal dari berbagai kota, di antaranya Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Cilacap, dan Temanggung. Profesinya pun berbeda-beda, ada pensiunan dari lembaga pemerintahan, perusahaan swasta, wartawan, pengajar per-guruan tinggi dan ada pula guru besar yang masih aktif me-ngajar.
Menurut saya, lansia memang perlu terus diberi ruang agar kreativitasnya tetap terjaga. Menulis bagi lansia meru-pakan salah satu aktivitas yang sangat disarankan. Menulis memiliki banyak manfaat. Untuk kesehatan mental, menulis membantu pemulihan emosi, memperbaiki suasana hati, mengurangi stress, dan meningkatkan kinerja otak. Untuk kesehatan fisik, menulis membantu mengasah memori dan kemampuan kognitif, serta meningkatkan pemahaman. Menulis juga meningkatkan kemampuan berpikir yakni meningkatkan daya ingat, melatih otak kiri dan kanan, serta menumbuhkan kreativitas dan intuisi. Menulis mening-katkan kemampuan berkomunikasi yakni meningkatkan kemampuan berbahasa, dan membantu penyampaian pesan kepada pembaca secara sistematis. Menulis juga merupakan wahana menuangkan ekspresi serta pengungkapan perasaan yang dituangkan melalui aneka rupa karya tulisan. Aktivitas menulis lebih banyak menggunakan pikiran bukan fisik semata. Mereka yang menekuni dunia penulisan dapat dipas-tikan gemar membaca dalam frekuensi tinggi, mengingat dalam menulis diperlukan banyak membaca. Karya yang dihasilkan seorang penulis yang tidak memiliki tradisi mem-baca, akan terasa kering.
Saya senang mendapati komunitas lansia yang memiliki aktivitas tidak hanya menulis, tetapi juga berbincang dan berdiskusi. Buku-buku yang sudah diterbitkan, dilengkapi dengan diskusi dalam format bedah buku sehingga pikiran semakin berkembang.
Ruang Publik Bagi Lansia
Tema yang disajikan bukanlah tema ringan, yaitu Ruang Publik. Supaya lebih terarah, difokuskan pada ruang publik fisik, baik berupa bangunan atau ruang terbuka, meskipun tidak setiap ruang terbuka merupakan ruang publik. Ruang terbuka bisa difungsikan sebagai ruang publik. Lapangan mi-salnya, tidak selalu dapat dimanfaatkan sebagai ruang publik, apalagi bila dipagari, akan menjadi eksklusif dan bukan lagi merupakan ruang terbuka untuk umum.
Ruang publik bisa berupa taman kota, yang di dalamnya ada fasilitas untuk melakukan aktivitas, dan tidak setiap pe-dagang secara bebas boleh masuk di arena tersebut. Sebagai ruang publik, setiap kelompok sosial dapat memanfaatkannya untuk melakukan aktivitas. Tentu ada sejumlah aturan yang disepakati bersama sehingga setiap kelompok bisa meng-gunakan ruang publik dengan pengaturan jadwal yang tidak saling berbenturan.
Ruang publik yang dikhususkan bagi lansia, kiranya ha-nya boleh digunakan bagi lansia, dan ruang publik seperti itu disiapkan dan dibangun sedemikian rupa sehingga ramah bagi lansia dan difabel (inklusif). Tentu saja bentuknya akan berbeda dengan ruang publik yang terbuka untuk umum.
Gagasan-gagasan yang dilontarkan para lansia, dengan pengalaman masing-masing menarik untuk diperhatikan. Dari kumpulan gagasan yang ditulis dalam buku ini, setidak-nya kita tahu, bahwa di Indonesia belum tersedia ruang publik yang ideal bagi lansia. Mungkin, di salah satu tempat ada Taman Lansia yang dikelola swasta, tetapi agaknya bukan sebagai ruang publik namun cenderung sebagai tempat wisa-ta. Pemerintah semestinya menyediakan sekaligus mengelola ruang publik semacam ini.
Ada tulisan yang menyertakan referensi ruang publik di satu kota di negara lain dan membandingkan dengan satu kota di Indonesia, dan ditemukan perbedaan yang sangat mencolok. Hal ini menegaskan bahwa ruang publik fisik, dedicated khusus bagi lansia di Indonesia belum tersedia. Ada taman-taman kota, di beberapa kota di Indonesia, namun sepenuhnya bukan sebagai ruang publik, meskipun bisa difungsikan sebagai ruang publik khusus bagi lansia. Taman kota, saya kira lebih sebagai estetika kota.
Pilihan khusus ruang publik fisik, dimaksudkan untuk lebih memperjelas topik sekaligus memberi batasan. Karena kita juga mengenal jenis ruang publik virtual, yang interaksinya berbeda dengan ruang publik fisik. Karena para penulis se-mua masuk kategori lansia, ruang publik fisik merupakan jenis ruang publik yang lebih diperlukan. Interaksi di ruang publik ini bersifat akrab, hangat, menyenangkan, dan tidak meninggalkan namun memicu tawa bahagia.
Saya berpendapat, kota-kota di Indonesia perlu menye-diakan ruang publik (fisik) bagi lansia. Apalagi berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) berjudul ‘Statistik Pendu-duk Lanjut Usia 2024’, lansia di Indonesia diproyeksikan mencapai 65,82 juta orang atau mencapai 20,31 persen dari total penduduk pada 2045 atau saat Indonesia Emas. Pada saat itu, ada 1 lansia di antara 5 penduduk di Indonesia.
Kepada para penulis, saya mengucapkan selamat atas terbitnya buku kedua ini. Jangan pernah lelah dan teruslah menulis. Saya akan terus mendukung para lansia untuk te-rus berkarya dalam rangka pengembangan dan penguatan literasi sastra. Viva Lansia Indonesia!