Skip to main content

Eunoia Menuju Seekor Bajingan di Mobil Slavee

 



Judul: Eunoia Menuju Seekor Bajingan di Mobil Slavee
Penulis: Whani Darmawan et.al.
Editor: Ikun Sri Kuncoro, Indro Suprobo
Isi: 14 X 20 cm, xxii + 196 hlm 
Cetakan Pertama: April 2025
Penerbit: Tonggak Pustaka

Sebagai seorang seniman lumrah saja jika saya merasa dikaruniai sensitivitas. Naluri akan keindahan (yang menu-rut saya) bermuara pada sesuatu yang Illahiah, sepanjang manusia memelihara dan menubuhkan ke dalam laku hi-dupnya melalui pembiasaan, akan menjadi daya spiritual. Daya atau kemampuan spiritual ini tidak harus menjadikan-nya sekemampuan sebagai seorang cenayang, melainkan memiliki nurani yang lebih halus dan peka. Peka terhadap geliat perasaan yang tersembunyi dari ekspresi verbal, peka terhadap 'bayangan kejadian,' yakni bukan saja yang terlihat, melainkan juga yang tak terlihat. Beberapa seniman yang pernah saya baca biografinya, atau saya tanggap pengalaman hidupnya, sering menunjukkan gejala apocaliptic alias 'ngerti sadurunge winarah' melalui karya seninya tanpa dirinya sendiri menyadari. Apakah kemampuan saya sekental itu? Tidak atau belum. Saya masih dalam tahap diperbolehkan menerima sinyal keharuan akan nilai atau kenyataan tersem-bunyi dari peristiwa. Terkadang hal itu membuat saya mena-ngis, baik menangis sedih, haru atau bahagia, tergantung ke-pada nilai yang tertangkap oleh sinyal saya.

Dari mana ide lahirnya naskah lakon Seekor Bajingan di Mobil Slavee? Mengenai hal ini, ada dua lapis yang bisa saya jelaskan. Pertama, secara verbal ketika saya menjadi sering mengumpat teringat pada suatu peristiwa yang sudah lewat. Kedua, terangkai dengan hal pertama mengenai sesuatu yang sudah lewat, ini membuktikan bahwa teori Sigmund Freud mengenai fenomena 'gunung es' adalah sahih. Dari tiga lapis perihal jiwa manusia, level sadar hanya mendu-duki peringkat sedikit persen. Banyak persen lainnya adalah alam pra-sadar dan alam bawah sadar. Ketahuanlah oleh saya kemudian bahwa ada sesuatu yang belum selesai (past tense) yang nyaruwuwus di kekinian (present tense). Tentulah ini menjadi potensi gangguan. Lalu saya pun mulai menuliskan-nya. 

Saya mulai menuliskannya ke dalam bentuk cerpen. Te-tapi sampai dalam konteks deskripsi saya merasa tidak kuat. 'Para monster' yang bersembunyi di bawah pucuk gunung es itu menuntut dituliskan secara cepat. Cerpen belum rampung saya tinggalkan, dan mulailah saya menulis dialog,  seterusnya hingga selesai dalam dua penggal malam. Muncullah Seekor Bajingan di Mobil Slavee.

Siapakah Bajingan, siapakah Slavee? Adalah keping-ke-ping biografi dari orang-orang yang saya kenal maupun tidak. Orang yang dekat dengan saya maupun orang jauh yang mampir dalam sinyal saya melalui cerita-cerita maupun curhat-curhat. 

Sudah tentu kepingan biografi siapapun itu yang kemu-dian hadir dalam Seekor Bajingan di Mobil Slavee adalah ramuan fiksi. Tetapi seperti yang Pembaca tahu mengenai persengketaan antara fakta dan fiksi puluhan tahun kabluk lampau, tumbuhnya nilai menduduki peran penting, katim-bang mempersoalkan soal data. Maka, saya ingin menga-badikan nilai-nilai yang menggerakkan hidup saya. Nilai-nilai yang membuat saya merasa sok jadi manusia.

Nah. Bertahun lalu saya pernah mengalami keraguan untuk menerbitkan suatu kumpulan puisi. Untuk apa? Toh saya bukan penyair? Apakah dengan menerbitkan buku puisi saya ingin diakui sebagai penyair? Itu naif sekali. Kalau dalam teorinya Malcom Gladwell, seseorang harus menempuh kerja sepuluh ribu jam untuk kemudian bisa 'muncul.' Menerbitkan puisi sekali lalu minta diakui? Saya galau untuk menerbitkan buku puisi tersebut meski di masa muda saya dulu pernah berpuisi-puisian dan meskipun calon buku tersebut sudah jadi dummy-nya dengan judul Segitiga Sama Kaki, 2003-2015 dan diantarkan oleh penyair nakal almarhum Joko Pinurbo. Sampai hari ini saya masih menyimpannya di perpustakaan pribadi saya, bahwa saya telah berhasil membuat dokumen (Juli 2015).

Kegelisahan saya tersebut saya lontarkan kepada sahabat saya, Ikun Sri Kuncoro, yang juga sekarang membidani buku yang Anda pegang dan baca sekarang ini (editor 1). Kata Ikun waktu itu kurang lebih 'seseorang perlu menulis sebagai dokumentasi.' Dokumentasi apa dan bagaimana? Ya doku-mentasi pribadi, bisa juga dokumentasi sosial. Dokumen-tasi pribadi hanya untuk diri sendiri, dokumen sosial untuk kepentingan sosial. Sebentar. Ada yang mengganjal dalam kategorisasi yang saya bikin itu. Mari tolong saya diluruskan: pribadi dan sosial, bukankah keduanya beririsan. Maka da-lam term sejarah kemudian muncul istilah sejarah kecil (sub history) dan sejarah utama (main history). Sejarah utama adalah sejarah yang kemudian diacu sebagai babon buku, sementara sejarah kecil adalah sejarah orang-orang yang tidak tercatat dalam 'buku utama.' Sejarah kecil maupun se-jarah utama kaitannya sangat lekat berkelindan. Dan toh, se-jarah itu juga soal versi. Artinya, sejarah kecil (dokumentasi pribadi) juga bisa menjadi pelengkap bagi kepentingan se-jarah besar (boleh disebut sebagai pencatatan besar, sih).  Hal itu sudah otomatis menjadi referensi antropologis bagi pertumbuhan kebudayaan. 

Bajingan dan Para Pembaca 

Sudah menjadi kenyataan umum bahwa buku yang pa-ling tidak dilirik oleh para pembaca pada umumnya adalah buku naskah drama. Meskipun naskah drama masuk dalam kategori sastra lakon, tetap saja secara umum orang lebih menggemari cerpen, novel, baru puisi. Naskah drama ko-non tidak masuk urutan kecuali para aktor, sutradara yang mencari ide untuk membuat pertunjukan.

Lalu saya berpikir bagaimana caranya supaya buku ini relatif lebih ramah dan menarik minat pembaca? Bertahun lalu saya pernah membaca novel Umberto Eco berjudul The Name of The Rose. Sebuah novel yang juga banyak memuat sub teks membuat otak pembaca mengulik peristiwa-peris-tiwa keagamaan Kristen abad Pertengahan di Eropa dan sejumlah tokoh yang konon terinspirasi dari kehidupan nyata di masa lalu. Kemudian secara tak sengaja saya juga menemukan buku (tak setebal The Name of The Rose) ber-judul The Key to The Name of the Rose  (buku panduan yang mendemistifikasi novel Umberto Eco, The Name of The Rose). Pendek kata bisa dikatakan buku itu adalah kamus untuk memasuki bukunya Umberto Eco, meski tak kalah detailnya buku itu dibanding bukunya Eco. Tentu saja saya tak layak membandingkan diri saya dengan Umberto Eco atau Jane G. White and friend's itu. Saya menyampaikan bahwa buku itu menginspirasi saya dalam menerbitkan naskah drama ini. Tetapi soal judul buku yang terinspirasi dari The Key to itu tak cukup membuat saya tenang. Saya masih ingin men-dapatkan judul buku yang menerangkan bahwa buku ini adalah buku naskah lakon yang di dalamnya memuat esai-esai yang mengulasnya. Editor kedua saya, Indro Suprobo, yang juga menuliskan esainya di buku ini mengusulkan satu kata, yakni Eunoia. Rangkaian ide kalimatnya 'Eunoia Menuju Seekor Bajingan di Mobil Slavee.' Eunoia berasal dari bahasa Yunani yang artinya pikiran-pikiran yang baik dan indah. Esai-esai yang terhimpun dalam buku ini adalah pikiran-pikiran baik dan indah yang mengantar pembaca untuk memahami naskah Seekor Bajingan secara lebih kaya dan penuh warna. Demikian.

Sudah lumrah jika pada akhirnya saya mengucapkan terimakasih dan salam hormat sedalam-dalamnya kepada mereka yang berkenan meluangkan waktu menulis tanpa janji kompensasi apapun kecuali doa: sahabat Ikun Sri Kun-coro (Editor 1), Indro Suprobo (Editor 2), Arif Nurcahyo, Rumekso Setyadi as Markijok, DR. Cahyaningrum Dewojati, DR. Wahyu Novianto, Candra Malik, B.M. Anggana, Elyan-dra Widharta, Erwin Duta Rustaman atas disain covernya, Sugeng Yeah dengan komunitas Mudita Cita-nya yang akan memproduksi menjadi sebuah pementasan. Justru mereka inilah pikiran-pikiran indah dan baik - eunoia - yang berpe-ran untuk menghidupkan naskah Bajingan, menjerengnya hingga meluas dalam perspektif yang lebih kaya, lebih dari sekadar yang ada dalam teks Bajingan itu sendiri. 


Salam kasih sayang dari

Bajingan-e Whani Darmawan