Skip to main content

Ziarah

 


Cerpen: Ninuk Retno Raras

 

Sore belum turun benar ketika langkahku menapaki undak-undakan batu menuju ke pekuburan Gunung Cilik. Sebuah kuburan luas di sebuah bukit, satu kilo meter di sebelah timur-laut alun-alun kota Trenggalek. Suasana sunyi  terasa menyayat oleh suara keriut pohon-pohon bambu yang bergoyang ditiup angin. Aroma tak sedap meruar sepanjang jalan setapak. Perpaduan bau busuk dan wangi kembang setaman yang mendebarkan hati. Aku melangkah terus sambil menghibur diri. Bukankah di dekat hutan bambu sebelum undak-undakan tadi merupakan tempat pembuangan sampah. Bisa jadi aroma tak sedap ini datang dari sana.

Kutata perasaanku. Perasaan yang sama seperti yang sudah-sudah setiap kali aku mendatangi kuburan ibu dan nenekku. Perasaan yang berulang setiap tahun menjelang puasa atau menjelang lebaran. Pertanyaan yang tak terkatakan sekaligus tak terjawabkan mengenai di mana kubur bapakku. Teka teki itu sepertinya akan menjadi abadi tersimpan dalam kotak yang tertutup erat.

Erat? Tidak. Sejak aku punya kawan anak-anak tetangga, atau tetangga jauh, kerap terdengar selentingan halus tapi tajam dari mulut orang tua mereka. Ada kata-kata yang selalu terngiang, tentang 'ayahku diambil', atau 'ayahku dijemput', bahkan kata 'ayahku terlibat'. Mula-mula aku tak peduli dengan bisik-bisik mereka. Namun lambat laun hatiku terusik. Sehingga pada suatu ketika aku sangat ingin bertanya kepada ibu. Tetapi sampai di rumah, mulutku terkatup erat demi melihat raut wajah ibuku yang cantik dan selalu berhias senyum lembut. Aku tak tega mengubah senyum itu menjadi isak.

Kukira anak-anak adalah makhluk pintar yang bisa menyimpulkan apa saja yang dilihat atau didengar, termasuk bisik-bisik tetangga. Hanya saja mereka tidak berani menerima kenyataan pahit atas kesimpulannya itu. Lalu pelan tetapi pasti aku berusaha menerima takdirku bahwa ayahku hilang pada sebuah peristiwa yang mengerikan di tahun 1965.

Kesimpulan itu semakin kuat ketika aku duduk di bangku SMP. Salah seorang kawan laki-lakiku, Lukito, sering digunjingkan oleh kawan yang lain kalau ayahnya adalah seorang jagal. Mula-mula aku tidak paham. Tetapi gunjingan itu lambat laun berubah menjadi ejekan atau gurauan nakal nan brutal jika sedikit saja Lukito membuat kesalahan atau kekonyolan.

"Jangkrik, To...dasar bapakmu jagal."

Aku ingat betul wajah merah dan sikap salah tingkah Lukito, lelaki kurus hitam berambut ikal dengan mata lebar, ketika itu. Kerlingnya menyayat hatiku.

Seringkali aku ingin menemuinya berdua saja. Bertanya tentang kubur bapakku. Tetapi sekali lagi keberanianku hilang begitu wajah ibu atau wajah nenek melintas.

Untuk apa?”

Membuka luka lama dan menggaraminya kembali. Perih yang tak pernah selesai akan semakin menjadi. Tidak. Maka puluhan tahun aku berusaha melupakannya.

Hidup jauh dari kotaku ternyata memberi dampak yang bagus untuk jiwaku. Ibu memindahkan sekolahku ke Surabaya setelah aku SMP. Rupanya ibu tahu rasa penasaran yang kusimpan selama ini. Pasti ibu tidak ingin aku bertindak lebih jauh.

Di Surabaya aku belajar melupakan segalanya dan berkonsentrasi penuh untuk nilai-nilai rapot dan kemudian nilai kuliahku. Kehidupanku berjalan normal. Kawanku banyak. Dan tak ada yang mengusik atau menatapku dengan iba tentang identitasku. Sesekali pulang ke kotaku untuk lebaran, dan bereuni dengan kawan-kawan kecilku. Aku menikmati kegembiraan khas anak muda. Bermain teater, membaca puisi, bermain basket, naik gunung, dan semua aktivitas yang kusukai.

Hanya satu yang kuhindari dengan hati-hati, tentu saja, hubungan personal dengan lawan jenis. Tunggu. Bukan berarti aku tidak pernah mencoba. Pernah. Aku pernah jatuh cinta kepada lelaki kakak tingkatku. Kebetulan dia berasal dari daerahku juga. Sosoknya tenang, terkenal pandai, dan seorang pendengar yang baik. Aku hampir yakin dia jatuh cinta padaku, dan begitu juga aku. Namun ketika kukatakan tentang siapa aku, nampaknya dunianya menjadi runtuh tiba-tiba.

"Jadi...?"

"Iya. Apa kamu tidak tahu?"

"Aku tak percaya. Karier keluargamu bagus."

"Sangat bagus. Karena mereka bekerja dengan sungguh-sungguh."

Yudha mengusap wajahnya berkali-kali. Tampak keringat dinginnya mengucur deras.

"Aku tahu, kau sedang dicalonkan menjadi dosen di fakultas kita. Dan aku tidak baik untuk kariermu itu."

Yudha tertunduk. Aku tak perlu menerka-nerka perasaannya. Hanya keajaiban jika dia berani nekat mengambilku sebagai istrinya.

Aku ingat, hari itu adalah sebuah sore yang murung. Mungkin di ujung tahun 1986. Saat pendaftaran pegawai negeri masih harus dilengkapi surat bersih G30S PKI. Aih, padahal siapa yang PKI?

Aku menatap seekor laba-laba yang sedang membuat sarang dengan perlahan. Entah mengapa, ketabahannya menular ke dalam hatiku. Aku meninggalkan Yudha tanpa tangis, tanpa penyesalan, meskipun tentu saja aku sangat sedih dan terluka. Tetapi biarlah semua menjadi pengalaman hidupku.

Dan setelah banyak kepahitan beruntun, ditambah keberanianku yang tiba-tiba muncul setelah ibu dan nenekku tiada, aku bertekad untuk menemui Lukito. Lukito anak jagal, teman SMP-ku dulu. Sungguh sudah bulat tekadku. Tekad perempuan dewasa, tanpa emosi berlebihan, yang hanya ingin tahu kepastian. Ya kepastian untuk menghilangkan rasa penasaran yang memburu di sisa hidupku.

Kusingkirkan batu sebesar kepala di jalanan setapak di areal pohon jambu mete yang rimbun. Hutan bambu kecil sudah kutinggalkan, sedikit berbelok ke kiri akan kujumpai pohon kamboja tua yang jarang daunnya tetapi tetap berbunga indah. Itu pohon kesayanganku. Tak jauh dari situ kuburan ibu dan nenekku sudah tampak.

Dua kuburan itu bersisihan berwarna kelabu batu. Bunga-bunga kamboja yang berjatuhan menghiasi permukaan nisannya. Aku bersimpuh dan berdoa. Lalu menangis tanpa isak. Tangis untuk dua perempuan berhati baja yang telah melewati jaman paling muram.

"Aja gembėng, aja gembèng, aja gembèng. Jangan cengeng...jangan cengeng...jangan cengeng," aku mengusap mata. Tersenyum terkenang nina bobo ibuku itu. Kurasa pada masa selanjutnya nina bobo itu menjadi mantra yang menguatkan langkah hidupku. Aja gembèng, jangan cengeng.

Aku menghela nafas. Mengelus nisan yang hangat oleh cahaya matahari sore.

"Aja gembeng, jangan cengeng, jangan cengeng. Ayo bangun."

Aku tersentak. Suara siapa itu tadi. Tidak keras. Tapi aku mendengarnya dengan jelas. Aku berdiri memeriksa sekitar. Tak jauh dari tempatku berdiri, agak di turunan, terhalang semak dan ilalang adalah jalan setapak yang menghubungkan makam dengan perkampungan. Jadi pengunjung makam tidak harus melalui undakan batu yang tadi kulewati.

"Sakit sekali, Kek." Suara bocah merengek kembali.

"Tahanlah sedikit. Nanti sampai di rumah kita obati."

"Istirahat sebentar."

"Baiklah, Cucu kakek yang tampan. Sini dekat kakek."

Aku kembali bersimpuh dan melantunkan doa dalam hati.Namun tidak berapa lama kemudian ada sebuah suara dari tempat yang sama.

"Hai, Luk. Kamu Lukito?"

Aku terhenyak. Lukito?

"Sarip? Hah..hah...Sarip....es em pe tiga de?"

Sarip? SMP? Mereka kawan sekolahku dulu. Kudengar suara tawa. Mungkin sedang berpelukan bahagia. Sarip dan Lukito kawan dekat ketika SMP. Sariplah yang selalu membela Lukito ketika diejek kawan laki-laki yang lain

"Apa khabarmu selama ini? Sudah sukses di Jakarta rupanya. Tak pernah pulang mudik sama sekali."

"Begitulah. Kalau kau pengen lebih maju memang jangan tinggal di sini. Hei, ini cucumu? Ganteng juga."

"Iya, cucu yang kuasuh sejak usia tujuh bulan. Bapak ibunya pergi jadi TKI."

"Tapi ada istrimu, kan."

"Istriku minggat ikut orang."

Kudengar suara tawa Sarip meledak.

"Luk, Luk, dari dulu cara bercandamu sungguh konyol."

"Aku tidak bercanda. Hidupku kayak kena laknat, Rip. Hancur."

Aku menegakkan kepala. Memasang telinga baik-baik.

"Ayah ibumu sehat kan, Luk?" Suara Sarip terdengar.

"Ibuku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Tak kuat memikirkan bapakku yang gila di hari tuanya."

"Gila?"

"Iya. Gila edan itu. Berteriak-teriak tengah malam tanpa sebab, mengamuk di jalanan, bahkan pernah telanjang sambil berlari menjerit-jerit menuju lapangan."

"Ya Allah. Benarkah?"

"Seram, Rip. Allah telah mengutuk keluarga kami."

Aku terdiam di tempatku bersimpuh. Angin menggerisikkan dedaunan. Pelan sekali. Aku pernah membaca banyak cerita tentang mantan jagal yang  menjadi gila ketika tua. Tetapi aku tak pernah menduga jika ayah Lukito juga mengalaminya.

"Bawalah ke Jakarta. Aku akan membantu pengobatannya,"

"Tidak. Terimakasih, Rip. Bapakku sudah meninggal. Tidak lama setelah ibuku. Dia menggorok lehernya sendiri."

Tubuhku menegang gemetar. Ada tangis lelaki yang pecah. Tangisan Lukito. Dia meraung-raung seperti anak kecil. Sedangkan aku tak berani bergerak. Membekap mulutku sendiri dengan penuh rasa ngeri.

"Dalam masa tuaku ini, kau tahu, kita sudah enam puluhan tahun, aku hanya ingin memintakan maaf atas dosa bapakku." Kudengar suara Lukito setelah tangisnya reda.

"Tapi kepada siapa? Bagaimana caranya? Rahasia bapak dibawa mati.

“Kau ingat teman kita SMP? Wulan? Dan beberapa teman yang lain, yang bapaknya hilang pada tahun-tahun itu? Mereka menerima cibiran dan ketidakadilan sepanjang hidupnya. Aku tahu. Karena aku juga mengalaminya. Pahit rasanya. Kau pernah membayangkan seandainya mereka datang padaku? Lalu menanyakan kenapa bapakku membunuh bapak mereka? Mungkin aku juga akan jadi gila.."

Aku gemetar mendengar suara Lukito. Perlahan tetapi pasti seperti menonjok dadaku. Tetapi seperti yang ibu dan nenekku selalu bilang, jangan cengeng.

Sore rebah pelan. Matahari turun ke balik gunung di barat kota. Gunung Kuncung. Dulu ketika aku merindukan bapakku, aku selalu berkhayal dia akan turun dari sana. Memanggul jagung dan ketela, seperti para petani yang tinggal di lerengnya. Tetapi bayangan yang kucari itu selalu sia-sia. Aku tertawa getir jika ingat saat itu.

Kubenahi kerudungku. Kubersihkan debu dan tanah yang menempel di celanaku. Sekali lagi kuusap mata dan pipiku yang basah. Kusimpan perasaanku setelah apa yang sudah kudengarkan barusan. Aku tidak tahu apa aku harus tetap akan menemui Lukito setelah turun dari kuburan nanti.

Kuremas ponselku di tas. Di sana aku menyimpan nomer Lukito. Nomer yang kudapatkan dengan susah payah akhir-akhir ini. Tetapi sekali lagi rasa ragu dan gelisahku berkecamuk tak karuan. Lalu seperti biasa, aku menyerah.

Pemakaman telah sunyi. Aku harus segera turun sebelum gelap datang. Untuk sementara biarlah ziarahku tetap seperti ini. Seperti leluhurku yang lain, yang di kubur di kota yang jauh, bapakku pun akan kuziarahi lewat doaku dari sini. (*)

 

Ninuk Retno Raras, lahir di Kediri 26 Januari 1962. Menyelesaikan SMP di Trenggalek, SMA di Surabaya. Dan belajar sastra di Universitas Jember. Menyukai dunia buku dan tulis menulis sebagai sarana kreasi. Kini tinggal di Sleman, Yogyakarta.