Skip to main content

Kursi di Sudut Kamar

 


Cerpen: Yuliani Kumudaswari

 

Tak ada yang salah dengan sebuah kursi, kecuali menjadi bagian tetap sudut kamarku, biarpun hidupku berpindah dari satu kota ke kota lain. Mahar yang terpatri sebagai perjanjian mengikuti ke manapun diriku pergi, dan hidungku tercucuk kuk yang berjalan searah tali kekang. Sebuah kursi yang membenamkan tubuh mungil dirinya, berjam-jam dari hari ke hari seakan mereka twin flame yang tak terpisahkan dan baru saja saling menemukan, sementara gap panjang semakin merentang di antara aku dengannya.

Kursi itu selalu teronggok di sudut kamar, di samping jendela, tepat di seberang tempat tidur kami. Kadang menghadap tempat tidur, kadang menghadap selatan. Suatu kali menghadap jendela, kali lain menghadap dinding dengan jarak sekedar lutut tak bertumbukan dengan kerasnya tembok. Ini yang kadang mengusik rasa penasaranku, apa yang dilihatnya dari posisi ganjil arah kursi itu ketika ia membenamkan diri di atasnya?

Dari sejak menikah, syarat yang diajukan istriku cuma satu, kursi itu ikut ke manapun kami pergi. Pekerjaanku memang mengharuskan aku siap ditempatkan di manapun di seluruh pelosok tanah air, sudah termaktub di kualifikasi kerjaku. Otomatis, istriku harus ikut ke manapun diriku ditempatkan, dan itu syaratku satu-satunya kepadanya.

Kursi berlengan besar, bersandaran tinggi berlapis kulit coklat lusuh yang mulai pudar. Tidak ada ukiran apapun, hanya kulit tua yang sudah berhiaskan tapak cakaran dan goresan kuku, jejak bertahun yang melekat. Seingatku, kursi kesayangan ibu mertuaku semasa beliau hidup. Aku pernah menawarkan mengganti pelapisnya dengan yang baru, dengan pelapis kulit berwarna lebih cerah. Istriku menolaknya dengan tegas.

 "Jangan, nanti tidak sama," katanya halus namun tidak bisa dibantah.

"Mengapa dirimu begitu menyukai kursi itu, Sayangku? Apa yang begitu istimewa?" tanyaku sambil menikmati irisan roti bakar isi selai merah buatannya.

"Kursi itu dulu kepunyaan kakek yang diberikan ke ibuku, dan aku menginginkannya setelah ibu tiada. Aku merasa seakan ibu bersamaku setiap kali kulihat dan dekat dengan kursi itu. Dirimu tahu, ibu banyak menghabiskan waktunya di kursi itu sejak kematian ayah," jelasnya panjang lebar.

Aku hanya tersenyum dan menggangguk.

“Baiklah kursi itu bagian keluarga kecil kita sekarang”, batinku.

Maka inilah dia. Kursi itu ikut lagi. Ini kepindahan kami yang kesekian. Yang kusyukuri, kota kami sekarang lumayan maju, setidaknya ada mall walau cuma satu. Istriku bisa melanjutkan keanggotaannya di pusat kebugaran, itupun kalau ia menghendakinya. Sudah lama kulihat ia menikmati kesendiriannya di rumah.

"Mama tidak bosan di rumah hanya menungguku pulang, Ma?"

 

"Aku betah Pa, Papa tidak usah mengkhawatirkan aku ya", jawabnya ringan seraya menciumku.

Aku sangat menyukai aroma tubuhnya yang teruar lembut, serupa kehangatan aroma bayi. Ya, aroma bayi, aneh juga aku berpikir demikian. Belum ada bayi di antara kami, bukannya kami kurang berusaha, memang belum rejeki. Dan lebih bijaksana, tidak membicarakan apapun yang berkaitan dengan "bayi" dengannya. Terlalu sensitif.

Dulu, semasa pacaran, pikiran tentang memiliki seorang atau beberapa bayi dengannya serupa sebuah keintiman. Makhluk-makhluk luar biasa, memiliki sebagian diriku dan dirinya. Memandang dia sebagai calon ibu anak-anakku menimbulkan getar halus serupa kepak capung di dadaku yang lalu memancarkan rasa hangat yang membuncah ruah. Setahun kemudian kami menikah, bertepatan dengan turunnya SK dari tempat kerjaku yang mengharuskanku tinggal di luar pulau. Aku ingat betul apa yang dibisikkannya di telingaku di malam pertama kami.

"Jelek, beri aku seorang bayi", bisiknya manja. Jelek,  panggilan kesayangannya untukku.

"Dengan senang hati, jelek cantikku sayang", balasku seraya merengkuhnya dalam dekapan.

Tahun pertama lewat, belum ada bayi. Tahun kedua pun berlalu, kami tetap berdua. Suatu malam, di tahun keempat pernikahan kami, aku terbangun oleh isak tangis lembut istriku. Punggungnya yang menempel di dadaku berguncang. Tiap malam, aku menyukai memeluknya dengan cara itu. Merasakan kehadiran dan tubuh hangatnya menempel di dadaku. Serasa ia milikku seorang, dan aku melindunginya dengan segenap jiwa dan tubuhku dari jahatnya dunia luar.

"Ssshhh sayang, ada apa Kekasihku, apa yang salah, Sayang?" bisikku perlahan, menenangkannya seraya mengeratkan pelukanku. Kuciumi leher dan puncak kepalanya. Kubalik tubuhnya perlahan, lalu dengan lembut membenamkan kepalanya di dadaku. Aku memeluknya erat, hingga guncangan tangisnya reda.

"Aku ingin bayi, Pa", isaknya terbata.

Malam itu, aku menangis bersamanya. Malam semakin tua, terasa begitu dingin dan senyap. Seingatku, sejak malam itulah, istriku memiliki kebiasaan membenamkan diri dan menghabiskan waktunya di kursi itu. Kursi di pojok kamar dengan serangkaian arah posisi yang berbeda, tergantung mood istriku.

Lalu dimulailah serangkaian upaya, yang benar-benar menghabiskan seluruh dana dan energi kami. Demi seorang bayi, kami menjalaninya dengan sungguh-sungguh dan penuh harapan. Di awal kami menempuh upaya medis, mulai mempersiapkan diri untuk program bayi tabung. Istriku harus menahan sakit demi rangkaian rangkaian inseminasi buatan, sebab kantor mewajibkan prosedur itu sebelum masuk ke tahap bayi tabung, sementara aku melewati rangkaian rasa malu. Seorang bayi tetap belum dikaruniakan ke dalam pelukan kami. Padahal sudah sejak lama kami saking membiasakan diri memanggil mama dan papa, agar tak canggung ketika buah hati kami itu hadir.

Seseorang menyarankan untuk menemui orang pintar di kampung A di daerah kelahiran istriku, kami temui dan segala saratnya telah kami penuhi. Orang pintar itu hanya kami panggil "Abah". Di pertemuan ke tiga, Abah memandang lekat mata kami.

"Pulanglah, besok istrimu akan mulai hamil, tetapi syaratku harus kalian pegang. Apapun yang terasa, istrimu tidak boleh memeriksakan diri ke dokter, titik. Itu saja," ujarnya dengan suara perlahan yang berhasil mendirikan bulu halus tengkukku. Benar saja, perut istriku mulai membukit. Sebulan, dua bulan hingga tak terasa telah sepuluh bulan lewat tetapi tidak ada tanda pergerakan bayi. Istriku semakin pucat, dan semakin sering mengeluhkan perutnya yang sakit. Aku tak tahan, malam itu juga kubawa ia ke dokter kandungan. Hasil USG membuat kami berdua terpana dan shock, isi kandungan istriku yang membesar itu hanya air dan angin, tak ada bayi. Rasa sesak mempengaruhi kami begitu dalam, di benak kami terngiang ucapan Abah, "Tidak boleh ke dokter, titik."

Seseorang yang lain menyarankan untuk menempuh serangkaian tirakat panjang dan hidup berpantang, kujalani walau aku berakhir di rumah sakit karena anemia dan hepatitis. Tetap nihil. Sementara itu, di rumah yang tetap lengang tanpa celoteh anak-anak, istriku semakin banyak menghabiskan harinya di kursi itu. Duduk, hanya duduk, dekat namun tak tersentuh.

"Pa, aku menyerah," katanya lirih.

Hari ini aku memutuskan untuk pulang cepat, kupikir ada baiknya besok pun kuajukan cuti tahunan yang belum kuambil. Perubahan pada diri istriku sangat mengganggu. Bukan perubahan yang jelek sebenarnya, justru sebaliknya. Istriku menjadi senang berdandan, wajahnya segar berseri-seri serupa seseorang yang sedang berbahagia. Ia tidak lagi murung, tetapi mulai memenuhi rumah dengan segala mainan anak-anak. Mulai dari spidol berwarma hingga segala bentuk permainan susun merk ligo yang terkenal itu. Awalnya kubiarkan, tetapi lama-lama aku tak tahan untuk mengetahui penyebab perubahannya itu.

Kudapati istriku sedang membenamkan dirinya di kursi belel itu lagi, di pojok kamar kami. Kursi itu menghadap tembok kali ini, di atasnya duduk dengan begitu anggun orang yang kucintai berbalut gaun hijau. Rambutnya diikat sembarangan namun di wajahnya justru menjadikannya tampak begitu muda. Dengan wajah berbinar, ia begitu fokus memperhatikan dinding di hadapannya.

"Sayang, aku pulang. Dirimu sedang memperhatikan apakah?" kataku perlahan tidak ingin mengagetkannya.

Ia memalingkan wajahnya ke arahku dengan senyum yang masih terpasang.

"Hai Pa, tumben sudah pulang. Sssh sini, anak kita sedang menggambar", bisiknya

Aku tertegun, dengan gerakan kaku kuhampiri dirinya.

 

"Lihat, anak lelaki kita sedang menggambar kupu-kupu ungu dengan spidol yang kubelikan kemarin", tunjuknya pada dinding polos berwarna cream. Tidak ada apa-apa di situ, hanya dinding bersih cream polos tanpa coretan setitikpun.

"Tahukah papa, kemarin ia belajar karate, tuh lihat mainannya berantakan dipukulnya. Dulu ia senang menari sekarang tidak lagi", sambil menunjuk ke tumpukan dus Ligo yang masih tersusun rapi di pojokan yang lain.

 Itu sebabnya kemarin arah kursi menghadap dinding selatan tempat tumpukan Ligo itu berada, pikirku.

"Besok ia minta ijin kita untuk bermain layang-layang di luar, Pa", katanya sambil tersenyum,.

“Besok kursi ini akan menghadap jendela berarti”, katanya lagi.

Dadaku tercekat, nafasku terasa begitu berat. Tanpa sadar tanganku menggenggam sisi buffet begitu erat, dan tubuhku gemetar. Istriku yang cantik telah begitu serupa ibunya, aku tak mengenalnya saat ini.

Beberapa Tahun Sebelumnya. Ibunya, calon  ibu mertuaku, dulu juga senang mengubah arah kursi coklat belel itu di pojok kamarnya setelah kematian sang suami tercinta. Seorang ibu yang sampai akhir hidupnya selalu berkata,

"Hari ini aku menghabiskan waktuku dengan ayahmu, Nak. Ayahmu merapikan rumput di luar," sambil menggenggam jemari calon istriku, yang berjongkok di hadapannya.

Saat itu ia masih kekasihku. Betapa cantik dan sabarnya calon istriku, pikirku kala melihat mereka. Mereka berdua saling tersenyum dan memandang dengan cara yang begitu mirip, ada saling pengertian yang tak terucap.

Perlahan calon istriku itu menoleh ke arahku.

"Mas, ibu sedang bersama ayah", bisiknya menuntut pengertianku. Sandaran kursi coklat belel di belakang punggung ringkih calon ibu mertuaku, memantulkan cahaya pagi yang menerobos sela tirai.

Aku hanya memandang mereka dalam diam.

 

 

 


Yuliani Kumudaswari
, kelahiran Bandung, yang tinggal di Yogyakarta. 
Puisi-puisinya terhimpun dalam beberapa sejumlah angtologi bersama penyair Indonesia, terbit di tahun berbeda-beda.  Beberapa buku puisi tunggal sudah terbit. Antologi tunggal terbaru “Tunjung Hati” (Tonggak Pustaka, Yogya 2023)