Skip to main content

Barja, Sang Pengarang

 


Cerpen Bey Saptomo

 

            “Apalagi yang engkau tunggu, Barja? Bukankah sudah sangat lama, engkau mendambakan perhatiannya?”

          Kalimat itu sangat jelas terngiang di telinga Barja, meski ia harus mengggunakan alat bantu pendengaran. Maklum, Barja kini telah memasuki usia senja. 58 tahun umurnya. Hampir semua orang yang menggeluti dunia kesenian mengenalnya. Pengenalan orang-orang terhadap Barja di jagad seni, sama persis dengan kehidupan percintaannya. Artinya, semua orang tahu bahwa Barja seorang seniman yang tidak beruntung di kehidupan rumah tangga. Pernikahan pertama dan keduanya hancur. Bahkan ketika Barja akan menikah untuk ketiga dan keempat kalinya juga gagal.

          “Pengecut kau, Barja!!”

          Hardikan itu hampir saja menumpahkan kopi di cangkir yang ia pegang. Tidak hanya oleh suara itu, tapi karena jari-jemarinya juga bergetar. Hal itu selalu terulang setiap kali Barja mengangkat gelas saat hendak minum. Barja sadar. Satu-persatu keperkasaannya hilang. Tak ubahnya daun-daun talok, yang begitu mudah berguguran meski hanya tertiup semilir angin. Dulu. 13 tahun yang lalu. Saat memasuki usia 45 tahun, gigi-giginya mulai menghitam akibat guyuran kopi. Yang diteguknya sepanjang hari. Sepanjang hidupnya. Lalu helai rambutnya juga mulai beruban. 5 tahun berikutnya, Barja mestinya sudah harus menggunakan alat bantu penglihatan. Mata kanannya tak mampu melihat dengan jarak lebih dari setengah meter. Sedangkan mata kirinya justru sebaliknya. Tak kuasa membaca dan melihat pada jarak terlalu dekat. Namun Barja enggan.

          “Tak apa. Dengan mata seperti ini, justru membuatku lebih berhati-hati saat mengendarai motor…” kata Barja saat itu.

          Barja memang tersohor karena keras kepala. Barja pintar berkelit. Pandai mengolah argumentasi dengan kata-kata yang meluncur rapih dari bibir keriputnya. Sikap keras kepalanya itu, sering membuat orang-orang di sekitarnya menjadi jengah. Bahkan enggan bicara dengan Barja, walau hanya sekedar untuk memberikan saran demi kesehatan dirinya. Namun, orang-orang juga kagum terhadap Barja. Karena kekerasan kepalanya itu, menjadikan Barja sebagai seniman sastra yang kuat memegang originalitas dalam berkarya. Barja tidak suka menyaksikan suatu karya dari hasil comot sana comot sini. Lalu dikemas dan diolah sedemikian rupa, hingga seolah sesuatu karya yang baru. Padahal hanya memasak ulang. Terlebih pada karya contekan. Barja sangat benci plagiasi.

          Sedangkan kini Barja mau menggunakan alat bantu pendengaran, karena bagian dari tuntutan beberapa pekerjaan yang masih dijalaninya. Barja sering diminta menjadi narasumber berbagai kegiatan workshop, diskusi atau program podcast. Bila tidak pakai alat bantu, tentu saja tidak mungkin. Bisa kacau acaranya. Salah-salah malah seperti menonton komedi Haji Bolot.

          Jari-jari tangannya yang tadi bergetar saat mengangkat cangkir kopi dipijat-pijat perlahan. Tak berselang lama, Barja meraih laptop yang ada di meja. Tepat persis di depan dia duduk.

          “Mau apa kau, Barja? Apa yang akan kau lakukan?!”

          Suara itu kembali terdengar. Kali ini, suaranya bernada melecehkan. Sinis. Bahkan terkesan merendahkan Barja. Tiada berbeda dengan penguasa Ngawangga, Sang Adipati Karna, saat menahan keinginan Irawan putra Arjuna untuk meminta tanah Astinapura. Adipati Karna dipermalukan, karena Irawan mampu mengimbangi kesaktian uwaknya itu.

          “Sudahlah Barja, sruput saja kopimu. Lalu, sana, kembali ke peraduanmu. Istirahatlah…..”

          “Tidak! Aku harus menulis!” kata Barja menghardik.

          “Hahahahahaha……..”

          Suara tawa mengejek itu justru menyulut Barja untuk segera menyalakan laptopnya. Barja tidak mempedulikan suara tawa yang seolah berputar-putar di kepalanya. Menari-nari di kedua sisi gendang telinganya. Namun Barja terkesiap. Manakala telunjuknya hendak menekan tombol power laptop, jemarinya kembali bergetar. Meski getarannya tak sekuat saat mengangkat cangkir kopi. Hanya bergetar halus. Tapi itu cukup membuat Barja terhenti sejenak. Layar laptop sudah dibukanya, tetapi belum juga dinyalakan.

          “Apa kubilang. Sudahlah. Tidur saja, Barja. Hehehe….”

         Barja menghela nafas dalam-dalam. Otaknya berpikir keras. Mengingat-ingat kapan terakhir kali dirinya menggunakan laptop untuk menulis. Tatapan matanya menerawang hingga ke pucuk-pucuk pohon sawo kecik, yang usianya sudah lebih dari satu abad. Sekejap kemudian mata tua itu menyipit. Dahi mengernyit. Pupus-pupus dedaunan yang bertumbuh mengabur di pandangannya.

          “He, Barja, bukankah lebih indah menatap dan mengingat perempuan itu?”

          Kali ini suara itu mencoba mengganggu konsentrasi Barja, yang sedang mencoba mengurai ingatannya. Celakanya, itu justru menggiring ingatan Barja pada sosok perempuan, seperti yang dikatakan suara itu. Barja tak kuasa menahan memori otaknya, yang terus tertuju pada sosok perempuan yang dulu pernah dekat dengan dirinya. Perempuan yang mampu membawa Barja melupakan kegetiran kisah-kisah percintaannya. Namun dia lalu pergi meninggalkan Barja. Bertahun-tahun kemudian perempuan itu muncul kembali. Dulu, kepergiannya sempat membuat Barja beku. Tak satu karyapun diciptakan. Tidak puisi. Tidak juga cerita pendek. Apalagi essai atau novel. Harapan Barja melambung saat mengenal perempuan itu. Ketika itu usianya tepat di angka 42.

          “Hebat kau, Barja. Umur segitu sudah mencatat rekor 2 kali menikah dan 2 kali gagal menikah. Luar biasa!!!”

          Barja hanya terdiam. Barja acuh saja. Bagi laki-laki petualang cinta mungkin saja itu suatu kebanggaan. Tapi Barja bukan lelaki semacam itu. Maka sebaliknya, Barja justru menganggap itu bukan prestasi. Akan tetapi kekelaman hidupnya. Bahkan dirinya menganggap itu aib. Namun apa semuanya sengaja diciptakan? Diinginkan? Tidak! Barja meyakini, di dunia ini tidak ada satupun lelaki yang bercita-cita rumah tangganya hancur berantakan. Cerai.

          “Mereka pengecut, Barja! Tidak seperti kamu. Kamu pemberani. Kamu hebat!!”

          “Tadi kau bilang aku pengecut? Mana yang benar?!!” suara Barja terdengar meninggi.

          “Hahaha…. Ingat Barja, kebenaran mutlak hanya milik Tuhan”

          Barja kesal dibuatnya. Lalu dia kembali mencoba mengingat terakhir kalinya dia menulis.

          “Ahh, aku ingat…..”

          Ada secuplik sunggingan senyum di bibir hitamnya. Tapi kemudian sekejap berubah cemberut. Sebab Barja sadar bahwa dia menulis terakhir, sebelum Barja kemudian sama sekali berhenti menulis, ketika dia merampungkan novel Jawa karyanya. Dan itu sudah akhir tahun lalu. Ini sudah memasuki pertengahan bulan ketiga tahun berikutnya. Artinya, Barja sudah tidak menggunakan laptop dan menulis selama 4 bulan.

          “Karena empat bulan lalu, pujaanmu itu mendatangimu bukan?”

          “Ngawur! Bukan itu penyebabnya…..” kata Barja bersungut-sungut.

          Cukup keras usaha Barja mengurai biang keladi, penyebab dia berhenti menulis saat itu. Yang diingatnya, Barja mencoba menyelesaikan novel karya sesuai target. Barja ingin setiap tahun membuat satu judul novel. Meski agak tersendat, namun akhirnya berhasil dirampungkannya tahun lalu.

          “Ahh, aku ingat! Percetakan…..”

          Simpul kusut akhirnya terurai. Ingatan Barja telah kembali. Dia berhasil mengingatnya. Novel karyanya terhenti di percetakan dikarenakan menunggu terbit ISBN. International Standard Book Number. Tahun-tahun sebelumnya tidak bermasalah. Tidak harus menunggu antrian panjang untuk mendapatkannya. Tetapi entah mengapa, sejak 2 tahun lalu sangat sulit memperoleh ISBN. Isunya, nomor unik yang dikeluarkan Lembaga ISBN, yang perwakilannya di Indonesia adalah Perpustakaan Nasional RI sejak tahun 2005. Seharusnya tidak dikeluarkan atau diterbitkan sembarangan, banyak disalahgunakan oleh sebagian besar oknum-oknum guru. Demi memperoleh akreditasi, para oknum itu mencetak dan menerbitkan buku secara minimalis. Artinya tidak dalam jumlah besar. Mungkin di bawah 20 eksemplar. Itu baru jumlah buku yang dicetak. Kualitas karyanya? Entah.

          “Huhh. Hanya karena itu lalu tidak menulis? Berkarya?”

          Suara itu seperti menampar keras pipi Barja. Dalam hatinya sepakat, bahwa itu kambing hitam dari kemalasannya. Tak ubah kawan-kawan senimannya, saat ditanya kapan berkarya lagi, mereka selalu menjawab tidak mood. Belum datang ide dan lain sebagainya.

          “Ide itu dicari. Digali, Bung!”

          Begitu kata Barja ketika dia berhasil menerbitkan novel karyanya yang kedua. Meski ada kesan jumawa dalam ucapannya, namun jika diresapi dan dipahami memang demikianlah adanya.

          “Tidak mood. Belum mood. Itu kata-kata yang dihias indah yang sebenarnya untuk menutupi rasa malas….” lanjut Barja.

          “Barja, sudahlah. Gunakan pernyataan itu untuk dirimu sendiri! Jangan paksakan pendapatmu untuk diterapkan oleh orang lain. Mereka bukan kamu! Mereka punya kehidupan berbeda denganmu! Coba berkacalah!”

          Entah mengapa Barja menuruti suara itu. Barja beranjak dari duduknya di teras depan. Dia menuju cermin yang tergantung di tembok depan kamar.

          “Orang-orang itu punya keluarga. Anak dan istri yang harus dihidupinya. Yang menjadi tanggung jawabnya sebagai orangtua. Sedangkan kamu? Perhatikan dirimu? Engkau menghidupi siapa? Beban tanggung jawabmu apa?”

          Barja terhenyak mendengarnya. Sambil menatap dirinya pada cermin, otak pikirannya mencerna kata-kata itu. Perlahan diendapkan dalam benaknya.

“Barja, kesempatan dan waktumu lebih banyak dibanding mereka…”

Entah mengapa Barja terkesiap. Buru-buru dia kembali ke teras. Kemudian duduk. Lalu menyeruput kopi. Kemudian dengan sigap Barja menyalakan laptopnya. Di pikirannya hanya tertuju satu. Menulis. Seperti yang sudah-sudah. Meski mengetik hanya dengan 2 jari, dalam sekejap sudah tertulis rangkaian kalimat sepanjang 2 halaman ukuran kertas A4.

“Engkau sudah kembali lagi, Barja! Selamat datang kembali!!”

Barja setengah terkejut setelah sadar apa yang dilakukan barusan. Tadi dia melangkah begitu cepat ke teras. Lalu mengangkat cangkir kopi. Kemudian menyalakan laptop. Begitu cekatan dan lancar menulis. Tanpa harus gemetaran jarinya. Tidak tertatih jalannya. Bahkan matanya begitu jelas membaca tulisan yang diketiknya di layar laptopnya.

Barja menoleh kiri dan kanan. Dia mencari sosok yang berbicara dengannya. Tetapi tidak ada siapa-siapa. Di teras rumahnya itu hanya ada dirinya dan sepasang burung tekukur di sangkar.

“Barja, tak perlu mencariku ke mana-mana. Karena aku adalah dirimu…..”

Barja menghela napas dalam. Tersirat api semangat di paras tuanya. Ada cercah kehidupan tergambar di wajah kisutnya. Tak lama kemudian, Barja sudah suntuk merangkai kata demi kata. Menjadi suatu jalinan cerita yang diselesaikannya tepat kala lembayung senja tergambar di ufuk barat.

 


Bey Saptomo
, d
ilahirkan di Jakarta 11 Mei 1964 dengan nama Bayu Saptama dari pasangan Soebakri-Soekarni. Sejak menekuni dunia kethoprak tahun 1986 serta dunia Radio (1986-2020) dan Sastra Jawa lebih akrab disapa dengan Bey Saptomo. Mulai aktif menggeluti penulisan naskah diawali Naskah Drama Radio berbahasa Jawa-Indonesia di Radio RBFM 1989. Tahun 2018 karyanya “Topeng Mentaok” menjadi yang terbaik pada lomba Penulisan Novel Jawa DISBUD 2018. Tahun 2019 Naskah karyanya “Gowang” Karya Terbaik pada Lomba Penulisan Naskah Lakon Kethoprak DISBUD 2019. Naskah Sandiwara Radio berbahasa Jawa karyanya menjadi karya 10 terbaik dalam Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara Radio DISBUD 2020 (Judul “Keblasuk”), 2021 (Judul “Naga Dina”) dan 2022 (Judul “Parfum”). Pada tahun 2022 juga berhasil menempati Juara II, dalam Lomba Penulisan Cerita Anak berbahasa Jawa “Adeg-adeg Anteb” yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Yogyakarta.