Skip to main content

Bintang Harapan

 


Cerpen: Dyah Ariani SW

 

“Dan sesuatu yang mahal selalu tersimpan di tempat yang sangat aman, rapat, dan tidak dapat dijangkau sembarang orang. Bukankah bintang gemintang berada nun jauh di angkasa? Bukankah mutiara indah tersimpan nan dalam di dasar samudera?”

Merdekawati tersungging senyum memandang lekat-lekat postcard yang baru saja dibubuhi tulisan tangannya berisi jalinan kalimat gemerlap di atas, sebelum selembar kertas cetak warna bergambar Tugu Monas itu disodorkannya kepada petugas kantor pos, selanjutnya dibawa maskapai penerbangan tertentu agar segera sampai alamat yang dituju.

Franky, lelaki beruntung itu mestinya bersyukur mendapat sahabat lain negara yang begitu perhatian dan penuh cinta. Ia yang kini sedang berada di tempat jauh dari Jakarta, tepatnya di Selandia Baru, New Zealand, menengok Sang Ibu yang menjalani operasi kanker usus, tak luput dari sapaan perempuan WNI ini.

Postcard atau kartu pos memang seringkali membangkitkan impian, memutar kembali rekaman memori akan tempat-tempat terbaik yang pernah mereka kunjungi. Kartu pos memiliki daya magis, menawarkan jendela untuk melongok dunia, pintu-pintu imajiner buat berkelana, dan fragmen-fragmen penuh kenangan. Kartu pos pun bisa jadi sumber inspirasi, simbol persahabatan dan tulusnya hati tanpa memandang suku, ras, agama, ideologi politik serta sederet hal lainnya yang dapat menciptakan jurang disparitas. Kartu pos mewakili lembaran optimisme akan perdamaian dunia dalam wujud yang sederhana.

Dalam benak Merdekawati mencuat pandangan betapa tingginya arti selembar kartu pos bisa melahirkan inspirasi. Terbayang ia akan penggalan karya berkilau maestro sastra  Sapardi Djoko Damono dalam puisi “Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate San Fransisco” dan cerpen karangan Agus Noor penerima Anugerah Sastra Pena Kencana “Kartu Pos dari Surga”.

Sebagai seorang penulis, Merdekawati mengagumi karya spektakuler Harun Yahya yang berdampak positif menimbulkan global impack. Pun para penulis dan pengarang yang ikhlas (mushanif) disebut khusus dalam doa, bahwasanya mereka akan dikumpulkan dengan orang-orang yang berderajat istimewa, setelah para Nabi dan yang lainnya.

Beberapa buah karya penulis bermutu dan tokoh telah memikat Merdekawati, seperti karangan Emha Ainun Nadjib “Sang Guru Multikultural”, Jansen Sinamo “Penggagas Etos Indonesia”, Ary Ginanjar Agustian “Pemancar Terang ESQ”, RA Kartini “Penegak Emansipasi”, Pangeran Diponegoro “Penjunjung Kesetaraan”, Ibu Siami “Pahlawan Kejujuran”, Yudi Latif  “Pengukuh Spirit Persaudaraan”, hingga Habib Muhammad Luthfi Yahya “Peneguh Semangat Cinta Tanah Air (Nasionalisme) dan Persatuan”.

Dalam keseharian, Franky pun seorang penulis, ia rajin mengisi blog di jaringan internet dengan bahasan spiritual, pendidikan, politik, sosial budaya, dan pernik hidup lain. Sekarang sedang merampungkan sebuah buku dalam dua bahasa, versi Inggris dan Indonesia. Membaca adalah hobi beratnya, sampai-sampai jika hari jadi-nya tiba saat ulang tahun, Merdekawati dibuatnya kelimpungan bingung mencari buku sebagai bakal hadiah, karena hampir seluruh buku yang pernah dibacanya, Franky telah lebih dulu punya. Akhirnya ada tips jitu, masing-masing cerpen karya Merdekawati, dijadikanlah hadiah. Unik, bukan?

Kebingungan ada kalanya melanda Franky bilamana mulai terpojok tidak bisa menjawab tuntas pertanyaan-pertanyaan kritis Merdekawati. Perempuan cerdas ini kadang kurang puas terhadap jawaban-jawaban Franky yang dinilainya masih  mengambang.  “Bukankah pertanyaan adalah nisful ilmi (setengah dari ilmu) apabila dijawab dengan benar akan menjadi satu ilmu?” begitu yang ia tahu.

Saat Merdekawati berhari jadi, Franky memberikan surprise-nya. Ia kirimi sahabatnya itu dengan foto-foto jepretannya selama mengunjungi daerah-daerah wisata bawah laut di Indonesia. Kebetulan dua insan bersahabat inipun memiliki hobi sama, fotografi. Kegemaran Franky menekuni diving dan snorkeling menjadikannya mengenal tempat-tempat terindah di Indonesia di mata dunia. Merdekawati mengoleksi beraneka foto Franky tatkala liburan menyelam di Nusa Penida (Bali), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Pulau Komodo dan Pulau Alor (NTT), Pulau Derawan (Kalimantan Timur), Bunaken (Sulawesi Utara), Raja Ampat (Papua Barat), Karimun Jawa (Jawa Tengah), dan Pulau Seribu (Jakarta).

Di masa kecil, Franky menyukai segala yang berkaitan dengan seluk-beluk sejarah binatang purba dinosaurus. Menginjak remaja mulai banyak berpikir tentang topik-topik serius seperti piramida, peradaban yang berbeda, dunia, spiritual, pelangi, matahari, bulan, bintang-bintang di angkasa dan alam semesta. Benarlah terbukti sebuah wisdom mengatakan, “Semakin dalam orang mempelajari sejarah, semakin jauh ia memandang masa depan.”

Di sela-sela kegiatan sehari-hari kadang ia diundang berceramah, mengajar bahasa Inggris, konsultan bagi mereka yang sedang mengalami kebuntuan masalah, dengan tetap menyalurkan hobi lain seperti menekuni seni beladiri martial arts karate dan memasak. Di Ibukota ia pernah melatih kursus karate. Franky punya esprit de corps tinggi. Ia yang juga jago memasak, kepada rekan-rekannya di Jakarta tidak segan-segan membagikan ilmu chef-nya ini. Menu masakan internasional yang tergolong ribet bagi kaum kebanyakan, ia dengan lihai meraciknya. Hal ini karena kebiasaan yang harmonis dalam keluarga di negaranya diterapkan solidaritas, dimana dalam situasi diperlukan, ayahnya akan dengan rela hati pergi ke pasar membeli kebutuhan memasak seperti beras, lauk, sayur, sekaligus memasaknya.

Franky humoris. Pada suatu ketika tatkala ia harus memenuhi undangan ceramah, mendadak mendapat serangan sakit perut hebat mengakibatkan badannya lemas lunglai. Disampaikannya dengan nada guyon pada Merdekawati,

“Apa saya mesti masuk UGD dulu, jadi pasien rumah sakit agar dapat izin batalkan ceramah, ya?” kata Franky.

 Maksudnya, dengan menjadi pasien, Franky bisa memperoleh Surat Keterangan Dokter yang biasa dijadikan “surat sakti” bagi berbagai kalangan untuk mengajukan izin tidak masuk sekolah, kuliah, atau kerja.

Perilaku pada diri Franky, acapkali mengingatkan Merdekawati pada keponakannya,

“Mereka berdua itu mirip, menyukai sejarah binatang purba dinosaurus, hobi memasak, gemar karate, selalu mempelajari hal-hal baru, tertarik dengan topik serius dan hal spiritual.” Gumam Merdekawati

Franky berkelakar menyatakan keberadaannya di Jakarta sebagai “bule terdampar”. Sebagai warga asing, ia mendapat perlakuan yang berbeda dalam hal yang berkaitan dengan berlakunya sebuah hukum negara, misalnya dalam persyaratan pengurusan izin perpanjangan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Kantor Kepolisian. Kisah perjalanan hidupnya mengharukan menjadikannya malah betah tinggal di bumi pertiwi ini. Bahkan Indonesia dianggapnya sebagai kampung halamannya sendiri, ia simpan harapan suatu saat kelak menyandang status resmi Warga  Negara Indonesia (WNI). Ia berada di Jakarta menggunakan Visa Kunjungan Sosial Budaya yang harus diperbarui secara berkala.

Sejak terlahir, ia sudah menunjukkan tanda-tanda berbeda dari saudara-saudaranya. Ayah, ibu, kakak dan adiknya bermata biru, tapi mata Franky campuran antara coklat dan hijau. Rambut pun bukanlah pirang, namun lebih gelap cenderung hitam. Ditelan keheranan ia katakan di penghujung ceramahnya pada suatu acara, “Saya sempat berpikir, barangkali ini sebagai “suratan takdir”, terdapat rahasia sebuah misteri-Nya. Segalanya sudah direncanakan, Tuhan tidak mungkin menjerumuskan.”

Banyak orang asing yang dikenalnya di Indonesia heran mengapa ia mau menetap di negara yang miskin, kotor, penuh korupsi dan carut marut. Jawab Franky enteng:

“Walau Jakarta konon kumuh bak comberan tercemar polusi udaranya panas, roh Jakarta adalah harapan yang tak pernah padam, Nusantara “ratna mutu manikam”. ‘Kan senantiasa ada secercah sinar laksana pelita bintang di langit luas, karena tinggal di wilayah baru ini saya ikhlas...” kata Franky

Perkenalan  Franky dan Merdekawati berawal saat sama-sama menempuh studi di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Kala itu Franky masih berstatus mahasiswa mancanegara peserta program beasiswa dari Fakultas Kajian Asia (Faculty of Asian International Studies) Universitas Griffith, Brisbane, Australia. Ia kini telah menyelesaikan kuliah Bachelor of Arts (BA) dan merampungkan kuliah tambahan Graduate Diploma of Education (GdipEd).

Dalam tutur kata sehari-hari, Franky menggunakan bahasa Indonesia, diselingi bahasa Inggris sekali-sekali. Merdekawati salut dengan sahabatnya yang satu ini, penguasaan bahasa Indonesianya begitu bagus, kalimat yang disampaikannya mengalir runtut, walau ada kalanya kurang tepat pada penggunaan kata tertentu. Semisal ia pakai kata “mati” padahal mestinya ”wafat” atau ia pakai kata “aku” padahal lebih tepatnya “saya”.

Berhubung keduanya berlatar belakang budaya berbeda, terdapat beberapa hal yang bisa mengganggu komunikasi. Terlihat, dalam mengekspresikan sesuatu, Franky terkesan lebih terus terang, terbuka dan jujur, terkadang menyenangkan tapi terkadang menyakitkan kalau tak terbiasa.

“Ia polos, dan itu yang membuat saya suka, karena di sana bersumber dari sikap murni apa adanya tanpa terikat sesuatu”, sanjung Merdekawati.

Ekspresi yang kentara terlihat pada kegemarannya kini berbusana batik, setelah ia terpesona mengerti tentang warisan leluhur ini dari cerita Merdekawati.

“Lelehan lilin panas meninggalkan jejak menawan pada helaian kain polos. Melalui serangkaian proses pewarnaan, jejak itu menjelma menjadi karya seni Nusantara bercita rasa tinggi, batik tulis. Batik tulis menempati kasta tertinggi di antara jenis batik kontemporer yang mulai memanfaatkan teknologi mesin cetak. Eksotikanya tak akan pernah tergeser di tengah serbuan batik-batik print yang harganya jauh lebih murah.,” ujar Merdekawati.

Merdekawati lalu teringat akan sebuah buku yang telah lama dibacanya, Manusia Indonesia, Sebuah Pertanggungjawaban. Karya Mochtar Lubis itu mengupas tuntas soal “lukisan wajah” manusia Indonesia secara lugas, seperti memandang diri berkaca di depan cermin. Ia membatin,

“Siapa yang tidak jujur, meski menang, tetap kalah.” Kata Merdekawati dalam hati.

Dalam salah satu kesempatan, seorang budayawan moderat dan pluralis, Romo Mudji Sutrisno mengulas,

“Tahun 1970-an, sastrawan Mochtar Lubis menyoroti ciri khas mentalitas manusia Indonesia. Salah satunya mentalitas munafik, ‘seolah-olah beres di depan dan dalam tampilan resmi bagus, tetapi di belakang culas dan tidak jujur’. Jika mentalitas ini tidak diubah, maka akan berdampak pada keretakan atau perpecahan bangsa.” Merdekawati menyampaikan tulisan Romo Muji

Tidak saja Merdekawati yang bisa mempengaruhinya sehingga bertambah kecintaan Franky pada kain batik. Franky pun berhasil memikat hati Merdekawati untuk gemar mengkonsumsi buah kiwi asli New Zealand yang menurut Franky terkenal tinggi nutrisi. Konon ia dijuluki “Si Kiwi” oleh rekan-rekannya di Jakarta.

Franky mengerti akan kegemaran Merdekawati mengoleksi scarf. Untuk itulah ada kalanya ia bawakan sahabatnya itu buah tangan scarf motif khas hewan Australia, kanguru dan koala. Ia tidak lupa pula membawakan buah tangan untuk Bintang, seorang anak pemulung yang oleh mereka berdua diasuh bersama.

Setiap bulannya Franky membantu dana untuk keberlangsungan sekolah Bintang yang sekarang duduk di bangku SMP, sedangkan Merdekawati membantu dengan mengupayakan beberapa keperluan Bintang, seperti buku bacaan dan alat-alat tulis. Keberadaan mereka yang benar-benar membutuhkan uluran tangan, menggetarkan nurani kemanusiaan.

“Kalau Bintang tidak kita tolong, bisa-bisa ia akan mewarisi jadi pemulung juga akibat himpitan ekonomi keluarga. Apakah kau tega?” keprihatinan Franky diungkapkan pada Merdekawati suatu kali.

Bagi mereka berdua, masa liburan adalah saat yang ditunggu-tunggu, begitu menggembirakan. Ada kalanya mereka kunjungi arena wisata Taman Mini Indonesia Indah, Taman Impian Jaya Ancol, serta ke beberapa museum di Jakarta adalah agenda acara menyenangkan sumber beragam ilmu pengetahuan. Diantaranya yang pernah mereka kunjungi adalah Museum ABRI, Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Museum Bahari, Museum Prasasti, Museum Joang 45, Museum Sumpah Pemuda, Museum Bank Indonesia, Museum Wayang, Museum Tekstil, Museum Sejarah Jakarta/ Museum Fatahillah/ Museum Batavia, Museum Nasional/ Museum Gajah, dan Museum Kebangkitan Nasional.

Mereka berdua pada saat tidak terkungkung kesibukan, terkadang mampir melepas penat menghirup oase segar taman kota di seantero Jakarta. Paru-paru kota Ibukota tersebar antara lain di Taman Suropati, Taman Menteng, Taman Solo, Taman Ayodya, Taman Genjing, Taman situ Lembang, Taman Lawang, Taman Puring, serta Taman Monas.

Untuk memenuhi hobi mereka di bidang seni sastra budaya, acara-acara tertentu di Taman Ismail Marzuki (TIM), Bentara Budaya Jakarta (BBJ), dan Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) menjadi menu utama. Di TIM rutin dipentaskan drama, tari, wayang, musik, pembacaan puisi, pameran lukisan, dan pemutaran film. Berbagai seni pertunjukan, kesenian tradisional dan kontemporer, baik tradisi Indonesia maupun dari luar negeri, dapat disaksikan di Graha Bhakti Budaya (GBB) yang berada di kawasan ini. Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin juga berada di area ini.

Berbagai acara peluncuran buku dari para penulis yang telah lama berkiprah maupun para penulis pemula, diskusi, dan pembacaan karya sastra pun kerap diselenggarakan di PDS. Sebuah Planetarium sebagai wahana hiburan dan ilmu pengetahuan tentang berbagai hal yang berhubungan dengan benda-benda jagat raya seperti tata surya dan gugusan bintang ada pula di komplek TIM.

Di BBJ yang bercirikan bangunan tradisional Rumah Adat Kudus cerminan tradisi akulturasi Cina, Hindu, Jawa, menyimpan koleksi lukisan, keramik kuno, wayang, mebel antik, dan patung-patung antara lain patung Budha dengan berbagai posisi mudra. Gedung ini selain merepresentasikan budaya tanah air, juga tempat terselenggaranya acara seni budaya lintas negara.

Sedangkan di GKJ, merupakan ajang bagi para seniman seluruh Nusantara mempertunjukkan hasil kreasi seperti sendratari,  teater, film, sastra, serta beragam pentas seni lain.

Di kala senggang, mereka kadang mengisi waktu luang mengitari kawasan pusat-pusat pasar buku loak Pasar Senen, Jatinegara, dan sekitar jalan Gajah Mada. Toko-toko buku ternama di seantero ibukota pun tak luput dari obyek penjelajahan. Pada suatu kesempatan mereka pernah membeli buku terbaru saat itu, The True Power of Water karangan seorang peneliti Jepang Dr.  Masaru Emoto yang menguak rahasia dari sebuah misteri keajaiban air. Ini buku favorit mereka berdua, mengajarkan agar senantiasa berpikir positif, dengan hati yang bersih dan tulus, karena segala hal yang dimulai dalam diri, akan memancar ke luar dan mempengaruhi lingkungan sekitar, hingga akhirnya memantul kepada diri manusia kembali.

Di kala purnama sedang terang-terangnya, cerah angkasa, harum udara lagi segar-segarnya, di sisi pantai yang lembut debur ombaknya, dua sahabat lain bangsa disatukan oleh agung malam-Nya, bertemu lagi setelah terpisah jarak dan waktu menabung rindu.

“Terbanglah ke bulan, bila tidak bisa mencapainya, paling tidak teraih bintang-bintang di sekelilingnya”, suara lirih Franky menjenguk isi hati dan pikiran menegur malam.

“Jikapun tidak teraih bintang-bintangnya, dapat memandang indahnya sambil mengusap peluh pun mesti kita syukuri”, Merdekawati membalasnya menyisir rasa hening yang dalam.

Semua pencinta memuja syahdu malam berikut rembulan beserta bintang gemintang di lanskap raksasa angkasa. Sampai-sampai timbul istilah “bintang harapan”, yaitu orang yang menjadi harapan orang banyak sebagai pimpinan yang diandalkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, “bintang” berarti orang yang terbaik (terpandai dalam suatu lingkungan). Istilah ini bahkan menjadi inspirasi bagi terselenggaranya berbagai kompetisi pemilihan “bintang kelas”, “bintang pelajar”, “bintang kampus”, “bintang diskusi”, penganugerahan “bintang tanda jasa” dan ragam penghargaan lainnya.

“Life like a star, indah, sepatutnya sungguh-sungguh disyukuri dengan gembira dan cinta yang membuat kita bahagia. Jangan takut hidup prihatin karena sengsara, menderita, karena tafakur, maka diperoleh cahaya nur. Bukankah mustahil cahaya ‘kan datang bila tiada didahului oleh gelap?,” begitu pernah dilontarkan Franky dan Merdekawati pada suatu petang tatkala menasehati Bintang anak asuh mereka dengan sabar.

Kentalnya persahabatan  Franky dan Merdekawati tak pernah pudar. Pada akhirnya mereka menyadari bahwa persahabatan tersebut sebagai interaksi sosial yang lepas, yang komitmennya ada pada moralitas dan integritas masing-masing pribadi. Hubungan mereka terilhami “Etiket” puisi Sufi Persia karya Hafiz seorang penyair:

“Bagaimana dua orang akan saling memperlakukan satu sama lain jika keduanya mengenal Tuhan? Bagaikan seorang musisi yang menyentuh biolanya dengan amat hati-hati untuk menghasilkan nada terakhir.”

Hubungan mereka berdua yang berjejal keragaman sekaligus berhias sisi-sisi kesamaan, menciptakan mozaik cantik berbingkai alunan simfoni ketulusan, so colorful life. Spirit kebersamaan berhasil merajut benang keberagaman. Franky dan Merdekawati meyakini, “Tulus adalah buah cinta, hanya pencinta yang mengerti arti ketulusan. Tulus itu indah, bersumber dari hati yang lembut dan senantiasa berserah.”

“Bukankah kita semua terlepas dari kebangsaan, kepercayaan dan asal usul, adalah satu saudara dalam kemanusiaan? Jauh lebih luas dari komunitas berdasar darah atau keturunan? Di mata Tuhan, manusia sama derajatnya, yang membedakannya hanya takwa dan amal saleh, yaitu kerja kemanusiaan yang dilaksanakannya sepanjang hidupnya”, pendapat serius ini disampaikan Franky di malam sunyi.

Hati-hati Merdekawati mengomentari dari balik tanya,

 “Martabat manusia tidak tergantung pada jabatan, pendidikan formal, kekuasaan politik, apalagi uang. Sejak kapan sesama manusia boleh membeda-bedakan status? Lha wong Tuhan saja tidak membedakan, bukan?”, kata Merdekawati.

Gede Prama tokoh penyebar kata-kata bening cemerlang yang telah melahirkan beragam buku menyegarkan, mengutarakan bahwa “Puncak keagungan ketemu ketika manusia memandang perbedaan sebagai keindahan, menggunakan  kesabaran sebagai perlindungan. Bila harus mengeluarkan pedang, ia mengeluarkan pedang kebijaksanaan.”

Alangkah indahnya persahabatan Franky dan Merdekawati, harapan mereka berdua, kelak bisa berkarya menurut kreativitas-Nya, merangkai buah pikiran menulis buku bersama.

Pada sudut sebuah taman kota Jakarta disinar purnama padhang bulan, bintang-bintang berkedip menghias cakrawala, gemercik air mancur mengalir membasahi pancapersada, direngkuh udara sejuk membelai malam minggu, lambaian bebungaan ayu mengusir kelu, beburungan mungil bersenandung merdu, bocah-bocah terlepas dari rutinitas sekolah menimba ilmu. Di antara mereka ada Bintang lanang, ia bermain-main berdendang gemirang riang...

“Life is beauty, admire it...

Life is a dream, realize it...

Life is a game, play it...

Life is a song, sing it...

Life is a love, enjoy it...”

 

***

 

Keterangan

Lha wong             :      Ungkapan penegas, kesungguhan, benar-benar (memang)

Padhang bulan     :      Bulan bersinar terang (purnama)

Lanang                 :       Anak laki-laki

 

Dyah Ariani SW lahir di Jepara, 4 Mei 1968. Bungsu dari enam bersaudara, buah hati dari pasangan H. Soepardjan Widjojoatmodjo (Alm.) dan Hj. Soenarmi Kasiran Darmowidjojo (Almh.). Penulis adalah alumna Ilmu Pemerintahan FISIP UNDIP (Universitas Diponegoro) Semarang.


Ketika duduk di bangku SMP, beberapa kali menjuarai ajang lomba mengarang dalam rangka Hari Besar Nasional dan Hari Besar Keagamaan. Pernah meraih penghargaan sebagai Pemenang International Letter Writing Week, World Post Day - Universal Postal Union) 1984. Universal Postal Union (UPU) merupakan badan khusus di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bermarkas di Bern, Swiss.

Penghargaan juga disandangnya saat terpilih sebagai Pemenang Karya Favorit Lomba Menulis Cerpen Remaja (LMCR) – 2010.

Bersama beberapa rekan menorehkan karya Antologi Cerita Pendek “Bianglala (Carangbook, 2009) dan “21 Cerita Pembasuh Jiwa” (Kosa Kata Kita (KKK) bekerja sama dengan Yayasan Rayakultura, 2023). Buah pena lainnya terhimpun dalam Antologi Puisi “Mengukir Rasa Pikir” (Rayakultura Press, 2015)  berisi untaian kristal-kristal renungan.

Mengikuti Jakarta International Literary Festival (JILFest) - 2011, Sayembara Buku Kumpulan Puisi 2015 (Yayasan Hari Puisi - Indopos), serta Lomba Cipta Puisi Genre Sastra Hijau 2015, Tema: Merawat dan Melestarikan Bumi Seisinya (Suratto Literary Award).

Pernah berkecimpung di bisnis produk fashion berpusat di Paris dan mendapat amanah sebagai Wakil Sekretaris Pengurus Harian partai ternama di Indonesia.

Saat ini berdomisili di Jakarta, dengan kontak e-mail dyah.ariani.sw@gmail.com.