Cerpen: Dyah Ariani SW
“Dan sesuatu yang mahal
selalu tersimpan di tempat yang sangat aman, rapat, dan tidak dapat dijangkau sembarang
orang. Bukankah bintang gemintang berada nun jauh di angkasa? Bukankah mutiara
indah tersimpan nan dalam di dasar samudera?”
Merdekawati
tersungging senyum memandang lekat-lekat postcard
yang baru saja dibubuhi tulisan tangannya berisi jalinan kalimat gemerlap di atas,
sebelum selembar kertas cetak warna bergambar Tugu Monas itu disodorkannya kepada
petugas kantor pos, selanjutnya
dibawa maskapai penerbangan tertentu agar segera sampai alamat yang dituju.
Franky,
lelaki beruntung itu mestinya bersyukur mendapat sahabat lain negara yang
begitu perhatian dan penuh cinta. Ia yang kini sedang berada di tempat jauh
dari Jakarta, tepatnya di Selandia Baru, New Zealand, menengok Sang Ibu yang
menjalani operasi kanker usus, tak luput dari sapaan perempuan WNI ini.
Postcard atau
kartu pos memang seringkali membangkitkan impian, memutar kembali rekaman
memori akan tempat-tempat terbaik yang pernah mereka kunjungi. Kartu pos
memiliki daya magis, menawarkan jendela untuk melongok dunia, pintu-pintu
imajiner buat berkelana, dan fragmen-fragmen penuh kenangan. Kartu pos pun bisa
jadi sumber inspirasi, simbol persahabatan dan tulusnya hati tanpa memandang suku,
ras, agama, ideologi politik serta sederet hal lainnya yang dapat menciptakan
jurang disparitas. Kartu pos mewakili lembaran optimisme akan perdamaian dunia
dalam wujud yang sederhana.
Dalam benak
Merdekawati mencuat pandangan betapa tingginya arti selembar kartu pos bisa melahirkan inspirasi.
Terbayang ia akan penggalan karya berkilau maestro sastra Sapardi Djoko Damono dalam puisi “Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate
San Fransisco” dan cerpen karangan Agus Noor penerima Anugerah Sastra Pena
Kencana “Kartu Pos dari Surga”.
Sebagai
seorang penulis, Merdekawati mengagumi karya spektakuler Harun Yahya
yang berdampak positif menimbulkan global
impack. Pun para penulis dan pengarang yang ikhlas (mushanif) disebut khusus dalam doa, bahwasanya mereka akan
dikumpulkan dengan orang-orang yang berderajat istimewa, setelah para Nabi dan yang
lainnya.
Beberapa
buah karya penulis bermutu dan tokoh telah memikat Merdekawati, seperti karangan
Emha Ainun Nadjib “Sang Guru Multikultural”, Jansen Sinamo “Penggagas Etos
Indonesia”, Ary Ginanjar
Agustian “Pemancar Terang ESQ”, RA
Kartini “Penegak Emansipasi”, Pangeran Diponegoro “Penjunjung Kesetaraan”, Ibu
Siami “Pahlawan Kejujuran”,
Yudi Latif “Pengukuh
Spirit Persaudaraan”, hingga Habib
Muhammad Luthfi Yahya “Peneguh Semangat Cinta Tanah Air (Nasionalisme) dan Persatuan”.
Dalam
keseharian, Franky pun seorang penulis, ia rajin mengisi blog di jaringan
internet dengan bahasan spiritual, pendidikan, politik, sosial budaya, dan
pernik hidup lain. Sekarang sedang merampungkan sebuah buku dalam dua bahasa,
versi Inggris dan Indonesia. Membaca adalah hobi beratnya, sampai-sampai jika
hari jadi-nya tiba saat ulang tahun, Merdekawati dibuatnya kelimpungan bingung
mencari buku sebagai bakal hadiah, karena hampir seluruh buku yang pernah
dibacanya, Franky telah lebih dulu punya. Akhirnya ada tips jitu, masing-masing
cerpen karya Merdekawati, dijadikanlah hadiah. Unik, bukan?
Kebingungan
ada kalanya melanda Franky bilamana mulai terpojok tidak bisa menjawab tuntas
pertanyaan-pertanyaan kritis Merdekawati. Perempuan cerdas ini kadang kurang
puas terhadap jawaban-jawaban Franky yang dinilainya masih mengambang. “Bukankah pertanyaan adalah nisful ilmi (setengah dari ilmu) apabila
dijawab dengan benar akan menjadi satu ilmu?” begitu yang ia tahu.
Saat
Merdekawati berhari jadi, Franky memberikan
surprise-nya.
Ia kirimi sahabatnya itu dengan foto-foto jepretannya selama mengunjungi
daerah-daerah wisata bawah laut di Indonesia. Kebetulan dua insan bersahabat
inipun memiliki hobi sama, fotografi. Kegemaran Franky menekuni diving dan snorkeling menjadikannya mengenal tempat-tempat terindah di
Indonesia di mata dunia. Merdekawati mengoleksi beraneka foto Franky tatkala
liburan menyelam di Nusa Penida (Bali), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Pulau
Komodo dan Pulau Alor (NTT), Pulau Derawan (Kalimantan Timur), Bunaken
(Sulawesi Utara), Raja Ampat (Papua Barat), Karimun Jawa (Jawa Tengah), dan
Pulau Seribu (Jakarta).
Di masa
kecil,
Franky menyukai segala yang berkaitan dengan seluk-beluk sejarah binatang purba
dinosaurus. Menginjak remaja
mulai
banyak berpikir tentang topik-topik serius seperti piramida, peradaban yang
berbeda, dunia, spiritual, pelangi, matahari, bulan, bintang-bintang di angkasa
dan alam semesta. Benarlah terbukti
sebuah
wisdom mengatakan, “Semakin dalam
orang mempelajari sejarah, semakin jauh ia memandang masa depan.”
Di
sela-sela kegiatan sehari-hari kadang ia diundang berceramah, mengajar bahasa
Inggris, konsultan bagi mereka yang sedang mengalami kebuntuan masalah, dengan
tetap menyalurkan hobi lain seperti menekuni seni beladiri martial arts karate dan memasak. Di Ibukota ia pernah melatih
kursus karate. Franky punya esprit de
corps tinggi. Ia yang juga jago
memasak, kepada rekan-rekannya di Jakarta tidak segan-segan membagikan ilmu chef-nya ini. Menu masakan internasional
yang tergolong ribet bagi kaum kebanyakan, ia dengan lihai meraciknya. Hal ini
karena kebiasaan yang harmonis dalam keluarga di negaranya diterapkan
solidaritas, dimana dalam situasi diperlukan, ayahnya akan dengan rela hati
pergi ke pasar membeli kebutuhan memasak seperti beras, lauk, sayur, sekaligus
memasaknya.
Franky humoris. Pada suatu ketika tatkala
ia harus memenuhi undangan ceramah, mendadak mendapat serangan sakit perut
hebat mengakibatkan badannya lemas lunglai. Disampaikannya dengan nada guyon
pada Merdekawati,
“Apa saya mesti masuk UGD dulu, jadi
pasien rumah sakit agar dapat izin batalkan ceramah, ya?” kata Franky.
Maksudnya, dengan menjadi pasien, Franky bisa
memperoleh Surat Keterangan Dokter yang biasa dijadikan “surat sakti” bagi
berbagai kalangan untuk mengajukan izin tidak masuk sekolah, kuliah, atau
kerja.
Perilaku
pada diri Franky, acapkali mengingatkan Merdekawati pada keponakannya,
“Mereka berdua itu mirip, menyukai
sejarah binatang purba dinosaurus, hobi memasak, gemar karate, selalu
mempelajari hal-hal baru, tertarik dengan topik serius dan hal spiritual.”
Gumam Merdekawati
Franky
berkelakar menyatakan keberadaannya di Jakarta sebagai “bule terdampar”.
Sebagai warga asing, ia mendapat perlakuan yang berbeda dalam hal yang
berkaitan dengan berlakunya sebuah hukum negara, misalnya dalam persyaratan pengurusan
izin perpanjangan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Kantor Kepolisian. Kisah perjalanan
hidupnya mengharukan menjadikannya malah betah tinggal di bumi pertiwi ini.
Bahkan Indonesia dianggapnya sebagai kampung halamannya sendiri, ia simpan
harapan suatu saat kelak menyandang status resmi Warga Negara Indonesia (WNI). Ia berada di Jakarta menggunakan
Visa Kunjungan Sosial Budaya yang harus diperbarui secara berkala.
Sejak terlahir, ia sudah menunjukkan
tanda-tanda berbeda dari saudara-saudaranya. Ayah, ibu, kakak dan adiknya
bermata biru, tapi mata Franky campuran antara coklat dan hijau. Rambut pun bukanlah
pirang, namun lebih gelap cenderung hitam. Ditelan keheranan ia katakan di penghujung
ceramahnya pada suatu acara, “Saya sempat berpikir, barangkali ini sebagai
“suratan takdir”, terdapat rahasia sebuah misteri-Nya. Segalanya sudah
direncanakan,
Tuhan tidak mungkin menjerumuskan.”
Banyak orang asing yang dikenalnya di
Indonesia heran mengapa ia mau menetap di negara yang miskin, kotor, penuh
korupsi dan carut marut. Jawab Franky enteng:
“Walau Jakarta konon kumuh bak comberan tercemar
polusi udaranya panas, roh Jakarta adalah harapan yang tak pernah padam,
Nusantara “ratna mutu manikam”. ‘Kan senantiasa ada secercah sinar laksana pelita
bintang di langit luas, karena tinggal di wilayah baru ini saya ikhlas...” kata
Franky
Perkenalan Franky dan Merdekawati berawal saat sama-sama menempuh
studi di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Kala itu Franky masih
berstatus mahasiswa mancanegara peserta program beasiswa dari Fakultas Kajian
Asia (Faculty of Asian International
Studies) Universitas Griffith, Brisbane, Australia. Ia kini telah menyelesaikan
kuliah Bachelor of Arts (BA) dan merampungkan
kuliah tambahan Graduate Diploma of
Education (GdipEd).
Dalam tutur kata sehari-hari, Franky
menggunakan bahasa Indonesia, diselingi bahasa Inggris sekali-sekali.
Merdekawati salut dengan sahabatnya yang satu ini, penguasaan bahasa
Indonesianya begitu bagus, kalimat yang disampaikannya mengalir runtut, walau ada
kalanya kurang tepat pada penggunaan kata tertentu. Semisal ia pakai kata
“mati” padahal mestinya ”wafat” atau ia pakai kata “aku” padahal lebih tepatnya
“saya”.
Berhubung keduanya berlatar belakang
budaya berbeda, terdapat beberapa hal yang bisa mengganggu komunikasi. Terlihat,
dalam mengekspresikan sesuatu, Franky terkesan lebih terus terang, terbuka dan
jujur, terkadang menyenangkan tapi terkadang menyakitkan kalau tak terbiasa.
“Ia polos, dan itu yang membuat saya
suka, karena di sana
bersumber dari sikap murni apa adanya tanpa terikat sesuatu”, sanjung
Merdekawati.
Ekspresi yang kentara terlihat pada kegemarannya kini
berbusana batik, setelah ia terpesona mengerti tentang warisan leluhur ini dari
cerita Merdekawati.
“Lelehan lilin panas meninggalkan jejak menawan
pada helaian kain polos. Melalui serangkaian proses pewarnaan, jejak itu
menjelma menjadi karya seni Nusantara bercita rasa tinggi, batik tulis. Batik
tulis menempati kasta tertinggi di antara jenis batik kontemporer yang mulai
memanfaatkan teknologi mesin cetak. Eksotikanya tak akan pernah tergeser di
tengah serbuan batik-batik print yang harganya jauh lebih murah.,” ujar
Merdekawati.
Merdekawati lalu teringat akan sebuah buku
yang telah lama dibacanya, Manusia Indonesia,
Sebuah Pertanggungjawaban. Karya Mochtar Lubis itu mengupas tuntas soal
“lukisan wajah” manusia Indonesia secara lugas, seperti memandang diri berkaca
di depan cermin. Ia membatin,
“Siapa yang tidak jujur, meski menang,
tetap kalah.” Kata Merdekawati dalam hati.
Dalam salah satu kesempatan, seorang
budayawan moderat dan pluralis, Romo Mudji Sutrisno mengulas,
“Tahun 1970-an, sastrawan Mochtar Lubis
menyoroti ciri khas mentalitas manusia Indonesia. Salah satunya mentalitas
munafik, ‘seolah-olah beres di depan dan dalam tampilan resmi bagus, tetapi di
belakang culas dan tidak jujur’. Jika mentalitas ini tidak diubah, maka akan
berdampak pada keretakan atau perpecahan bangsa.” Merdekawati menyampaikan
tulisan Romo Muji
Tidak saja Merdekawati yang bisa
mempengaruhinya sehingga bertambah kecintaan Franky pada kain batik. Franky pun
berhasil memikat hati Merdekawati untuk gemar mengkonsumsi buah kiwi asli New
Zealand yang menurut Franky terkenal tinggi nutrisi. Konon ia dijuluki “Si
Kiwi” oleh rekan-rekannya di Jakarta.
Franky mengerti akan kegemaran
Merdekawati mengoleksi scarf. Untuk
itulah ada kalanya ia bawakan sahabatnya itu buah tangan scarf motif khas hewan Australia, kanguru dan koala. Ia tidak lupa pula
membawakan buah tangan untuk Bintang, seorang anak pemulung yang oleh mereka
berdua diasuh bersama.
Setiap bulannya Franky membantu dana
untuk keberlangsungan sekolah Bintang yang sekarang duduk di bangku SMP,
sedangkan Merdekawati membantu dengan mengupayakan beberapa keperluan Bintang,
seperti buku bacaan dan alat-alat tulis. Keberadaan mereka yang benar-benar
membutuhkan uluran tangan, menggetarkan nurani kemanusiaan.
“Kalau Bintang tidak kita tolong,
bisa-bisa ia akan mewarisi jadi pemulung juga akibat himpitan ekonomi keluarga.
Apakah kau tega?” keprihatinan Franky diungkapkan pada Merdekawati suatu kali.
Bagi mereka berdua, masa liburan adalah saat yang
ditunggu-tunggu, begitu menggembirakan. Ada kalanya mereka kunjungi arena wisata
Taman Mini Indonesia Indah, Taman Impian Jaya Ancol, serta ke beberapa museum
di Jakarta adalah agenda acara menyenangkan sumber beragam ilmu pengetahuan. Diantaranya
yang pernah mereka kunjungi adalah Museum ABRI, Museum Perumusan Naskah
Proklamasi, Museum Bahari, Museum Prasasti, Museum Joang 45, Museum Sumpah Pemuda,
Museum Bank Indonesia, Museum Wayang, Museum Tekstil, Museum Sejarah Jakarta/
Museum Fatahillah/ Museum Batavia, Museum Nasional/ Museum Gajah, dan Museum
Kebangkitan Nasional.
Mereka berdua pada saat tidak terkungkung
kesibukan, terkadang mampir melepas penat menghirup oase segar taman kota di
seantero Jakarta. Paru-paru kota Ibukota tersebar antara lain di Taman
Suropati, Taman Menteng, Taman Solo, Taman Ayodya, Taman Genjing, Taman situ
Lembang, Taman Lawang, Taman Puring, serta Taman Monas.
Untuk memenuhi hobi mereka di bidang seni
sastra budaya, acara-acara tertentu di Taman Ismail Marzuki (TIM), Bentara
Budaya Jakarta (BBJ), dan Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) menjadi menu utama. Di
TIM rutin dipentaskan drama, tari, wayang, musik, pembacaan puisi, pameran
lukisan, dan pemutaran film. Berbagai seni pertunjukan, kesenian tradisional
dan kontemporer, baik tradisi Indonesia maupun dari luar negeri, dapat disaksikan
di Graha Bhakti Budaya (GBB) yang berada di kawasan ini. Pusat Dokumentasi
Sastra (PDS) HB Jassin juga berada di area ini.
Berbagai acara peluncuran buku dari para
penulis yang telah lama berkiprah maupun para penulis pemula, diskusi, dan
pembacaan karya sastra pun kerap diselenggarakan di PDS. Sebuah Planetarium
sebagai wahana hiburan dan ilmu pengetahuan tentang berbagai hal yang
berhubungan dengan benda-benda jagat raya seperti tata surya dan gugusan
bintang ada pula di komplek TIM.
Di BBJ yang bercirikan bangunan tradisional
Rumah Adat Kudus cerminan tradisi akulturasi Cina, Hindu, Jawa, menyimpan
koleksi lukisan, keramik kuno, wayang, mebel antik, dan patung-patung antara
lain patung Budha dengan berbagai posisi mudra. Gedung ini selain
merepresentasikan budaya tanah air, juga tempat terselenggaranya acara seni
budaya lintas negara.
Sedangkan di GKJ, merupakan ajang bagi para
seniman seluruh Nusantara mempertunjukkan hasil kreasi seperti sendratari, teater, film, sastra, serta beragam pentas
seni lain.
Di kala senggang, mereka kadang mengisi waktu
luang mengitari kawasan pusat-pusat pasar buku loak Pasar Senen, Jatinegara,
dan sekitar jalan Gajah Mada. Toko-toko buku ternama di seantero ibukota pun
tak luput dari obyek penjelajahan. Pada suatu kesempatan mereka pernah membeli
buku terbaru saat itu, The True Power of
Water karangan seorang peneliti Jepang Dr.
Masaru Emoto yang menguak rahasia dari sebuah misteri keajaiban air. Ini
buku favorit mereka berdua, mengajarkan agar senantiasa berpikir positif,
dengan hati yang bersih dan tulus, karena segala hal yang dimulai dalam diri,
akan memancar ke luar dan mempengaruhi lingkungan sekitar, hingga akhirnya
memantul kepada diri manusia kembali.
Di kala purnama sedang terang-terangnya, cerah
angkasa, harum udara lagi segar-segarnya, di sisi pantai yang lembut debur ombaknya,
dua sahabat lain bangsa disatukan oleh agung malam-Nya, bertemu lagi setelah
terpisah jarak dan waktu menabung rindu.
“Terbanglah ke bulan, bila tidak bisa
mencapainya, paling tidak teraih bintang-bintang di sekelilingnya”, suara lirih
Franky menjenguk isi hati dan pikiran menegur malam.
“Jikapun tidak teraih bintang-bintangnya, dapat
memandang indahnya sambil mengusap peluh pun mesti kita syukuri”, Merdekawati
membalasnya menyisir rasa hening yang dalam.
Semua pencinta memuja syahdu malam berikut
rembulan beserta bintang gemintang di lanskap raksasa angkasa. Sampai-sampai
timbul istilah “bintang harapan”, yaitu orang yang menjadi harapan orang banyak
sebagai pimpinan yang diandalkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, “bintang” berarti orang yang terbaik
(terpandai dalam suatu lingkungan). Istilah ini bahkan menjadi inspirasi bagi
terselenggaranya berbagai kompetisi pemilihan “bintang kelas”, “bintang
pelajar”, “bintang kampus”, “bintang diskusi”, penganugerahan “bintang tanda
jasa” dan ragam penghargaan lainnya.
“Life
like a star, indah, sepatutnya sungguh-sungguh disyukuri dengan
gembira dan cinta yang membuat kita bahagia. Jangan takut hidup prihatin karena
sengsara, menderita, karena tafakur, maka diperoleh cahaya nur. Bukankah
mustahil cahaya ‘kan datang bila tiada didahului oleh gelap?,” begitu pernah dilontarkan
Franky dan Merdekawati pada suatu petang tatkala menasehati Bintang anak asuh
mereka dengan sabar.
Kentalnya persahabatan Franky dan Merdekawati tak pernah pudar. Pada
akhirnya mereka menyadari bahwa persahabatan tersebut sebagai interaksi sosial
yang lepas, yang komitmennya ada pada moralitas dan integritas masing-masing
pribadi. Hubungan mereka terilhami “Etiket”
puisi Sufi Persia karya Hafiz seorang penyair:
“Bagaimana dua orang akan
saling memperlakukan satu sama lain jika keduanya mengenal Tuhan? Bagaikan
seorang musisi yang menyentuh biolanya dengan amat hati-hati untuk menghasilkan
nada terakhir.”
Hubungan mereka berdua yang berjejal keragaman
sekaligus berhias sisi-sisi kesamaan, menciptakan mozaik cantik berbingkai alunan
simfoni ketulusan, so colorful life. Spirit kebersamaan berhasil
merajut benang keberagaman. Franky dan Merdekawati meyakini, “Tulus adalah buah
cinta, hanya pencinta yang mengerti arti ketulusan. Tulus itu indah, bersumber
dari hati yang lembut dan senantiasa berserah.”
“Bukankah kita semua terlepas dari kebangsaan,
kepercayaan dan asal usul, adalah satu saudara dalam kemanusiaan? Jauh lebih
luas dari komunitas berdasar darah atau keturunan? Di mata Tuhan, manusia sama
derajatnya, yang membedakannya hanya takwa dan amal saleh, yaitu kerja
kemanusiaan yang dilaksanakannya sepanjang hidupnya”, pendapat serius ini
disampaikan Franky di malam sunyi.
Hati-hati Merdekawati mengomentari dari balik
tanya,
“Martabat manusia tidak tergantung pada
jabatan, pendidikan formal, kekuasaan politik, apalagi uang. Sejak kapan sesama
manusia boleh membeda-bedakan status? Lha
wong Tuhan saja tidak membedakan, bukan?”, kata Merdekawati.
Gede Prama tokoh penyebar kata-kata bening cemerlang
yang telah melahirkan beragam buku menyegarkan, mengutarakan bahwa “Puncak
keagungan ketemu ketika manusia memandang perbedaan sebagai keindahan,
menggunakan kesabaran sebagai
perlindungan. Bila harus mengeluarkan pedang, ia mengeluarkan pedang
kebijaksanaan.”
Alangkah indahnya persahabatan Franky dan
Merdekawati, harapan mereka berdua, kelak bisa berkarya menurut
kreativitas-Nya, merangkai buah pikiran menulis buku bersama.
Pada sudut sebuah taman kota Jakarta disinar purnama
padhang bulan, bintang-bintang
berkedip menghias cakrawala, gemercik air mancur mengalir membasahi pancapersada,
direngkuh udara sejuk membelai malam minggu, lambaian bebungaan ayu mengusir
kelu, beburungan mungil bersenandung merdu, bocah-bocah terlepas dari rutinitas
sekolah menimba ilmu. Di antara mereka ada Bintang lanang, ia bermain-main berdendang gemirang riang...
“Life is
beauty, admire it...
Life is
a dream, realize it...
Life is
a game, play it...
Life is
a song, sing it...
Life is
a love, enjoy it...”
***
Keterangan
Lha wong : Ungkapan penegas, kesungguhan,
benar-benar (memang)
Padhang bulan : Bulan
bersinar terang (purnama)
Lanang
:
Anak laki-laki
Dyah Ariani SW lahir di Jepara, 4
Mei 1968. Bungsu dari enam bersaudara, buah hati dari pasangan
H. Soepardjan Widjojoatmodjo (Alm.) dan Hj. Soenarmi Kasiran Darmowidjojo
(Almh.). Penulis adalah alumna Ilmu Pemerintahan FISIP UNDIP (Universitas Diponegoro) Semarang.
Ketika duduk di bangku SMP, beberapa kali menjuarai ajang lomba mengarang dalam rangka Hari Besar Nasional dan Hari Besar Keagamaan. Pernah meraih penghargaan sebagai Pemenang International Letter Writing Week, World Post Day - Universal Postal Union) 1984. Universal Postal Union (UPU) merupakan badan khusus di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bermarkas di Bern, Swiss.
Penghargaan juga disandangnya saat terpilih sebagai
Pemenang Karya Favorit Lomba Menulis Cerpen
Remaja (LMCR) – 2010.
Bersama beberapa rekan menorehkan karya Antologi
Cerita Pendek “Bianglala” (Carangbook, 2009) dan “21 Cerita Pembasuh Jiwa”
(Kosa Kata Kita (KKK) bekerja sama dengan Yayasan Rayakultura, 2023). Buah pena
lainnya terhimpun dalam Antologi Puisi “Mengukir
Rasa Pikir” (Rayakultura Press, 2015)
berisi untaian kristal-kristal renungan.
Mengikuti Jakarta
International Literary Festival (JILFest) - 2011,
Sayembara Buku Kumpulan Puisi 2015 (Yayasan Hari Puisi - Indopos), serta Lomba
Cipta Puisi Genre Sastra Hijau 2015, Tema: Merawat dan Melestarikan Bumi
Seisinya (Suratto Literary Award).
Pernah berkecimpung di bisnis produk
fashion berpusat di Paris dan mendapat amanah sebagai Wakil Sekretaris
Pengurus Harian partai ternama di Indonesia.
Saat ini berdomisili di Jakarta, dengan kontak e-mail
dyah.ariani.sw@gmail.com.

