Skip to main content

Cerpen: Senyuman Butet



 Cerpen Ons Untoro

      

      Whani, sudah satu tahun membuka warung bakmi Jawa, tetapi belum banyak pengunjung setiap harinya. Ada satu pelanggan setia, yang seminggu tiga kali mesti datang di warung bakminya, dan selalu pesan bakmi godhog (rebus) kuning tidak pakai kecap, dirajangi cabe 3 biji. Susilo nama pelanggan itu, dan mulai akrab dengan Whani.

      Susilo memang penggemar bakmi jawa. Ada banyak tempat penjual bakmi jawa yang sudah disinggahi, dan beberapa menjadi langganannya. Pesannya, di manapun dia memasuki warung bakmi jawa, selalu sama, bakmi godong kuning, dirajangi cabe rawit 3 biji, dan tidak pakai kecap. Bakmi jawa yang ada di Yogya telah banyak dia kunjungi, termasuk beberapa yang ada di wilayah Bantul dan Sleman. Dari warung bakmi yang antrinya cukup banyak sampai warung bakmi yang baru mulai membuka warungnya beberapa minggu, Susilo akan menyinggahinya untuk mencoba menu bakmi godhognya. Kali pertama mencoba warung ‘Bakmi Jawa Simbokku’ milik Whani, Susilo mulai merasakan cukup enak masakan bakminya, dan ketika dia mencoba beberapa kali terasa tambah enak, bahkan tidak kalah dengan tempat-tempat lain yang pernah Susilo kunjungi.  Selain lokasinya tidak jauh dari rumah tinggalnya, dari segi rasa tidak jauh enaknya dengan bakmi di beberapa tempat di mana Susilo sering mampir. Bakmi Jawa Simbokku, akhirnya  menjadi persinggahan Susilo secara rutin, dan tidak lagi kembali ke beberapa tempat warung bakmi yang pernah sering dikunjunginya.

            Setiap hari,  Warung bakmi Whani, yang tendanya ditulisi ‘Bakmi Jawa Simbokku’, buka mulai jam 18.00-23.00. Dalam setiap hari, tidak lebih dari 15 orang yang membeli bakmi racikannya, dan orangnya selalu berganti-ganti. Hanya beberapa orang yang lebih dari dua kali membeli bakmi di warungnya. Pelanggan satu-satunya, yang rajin ke warungnya,dan selalu pesan menu yang sama, ialah Susilo. Terkadang Susilo mengajak temannya, namun lebih sering sendirian. Biasanya, Susilo datang ke warung bakmi Whani antara jam 19 atau jam 20. Sangat jarang datang di atas jam itu. Tapi ini kali, Susilo datang jam 9 malam, tampaknya tidak dari rumah, tetapi pulang dari satu acara.

            “Pak Sus tampaknya capek sekali?” tanya Whani sambil menyiapkan pesanannya.

            “Kelihatan ya kalau wajahku capek” kata Susilo sambil mennyeruput tah jahe gula batu.

            “Dari bepergian jauh ya?” lagi-lagi Whani bertanya.

            Susilo tidak menjawab hanya batuk sambil menikmati teh jahenya. Dia tidak merespon Whani, tangannya mengeluarkan rokok kretek dan menyulutnya. Susilo seperti sedang menikmati rasa capek sambil menikmati teh jahe dan sebatang rokok. Cara seperti ini memang sering dilakukan Susilo untuk menghilangkan rasa lelah. Selain lelah, dia merasakan lapar. Biasanya pula, setelah dia menikmati menu makanan yang panas dan pedas, rasa lelah pelan-pelan akan hilang.

            “Silahkan Pak Sus” Kata Whani sambil meletakkan bakmi godhog pesanannya di meja.

            Susilo mesem, meletakkan rokok di asbak. Batuk kecil sambil mengambil kuah bakmi godhog dan mencicipinya. Susilo manggut-manggut, seolah memberi tanda betapa enaknya bakmi yang dihidangkan. Tanpa bicara sedikitpun Susilo menikmati bakmi godhog kesukaannya. Selesai makan dia teruskan minum teh jahe dan menghabiskan rokoknya. Seolah, rasa lelah sudah mulai berkurang. Wajahnya cerah.

            “Pak Sus tampaknya cocok ya dengan masakan saya?” Whani mencoba melihat respon pelanggan setianya.

            “O, iya saya cocok dengan racikan bumbumu, bawang putihnya pas, sehingga rasa lengurnya tidak terasa. Ayam kampungnya empuk, sehingga rasa gurih berpadu dengan pedas memberikan kenikmatan bakmimu” jawab Susilo.

            “Pak Sus belum pernah mencoba bakmi goreng” ujar Whani.

            “Pengalamanku, kalau bakmi godhog enak, biasanya bakmi gorengnya juga enak, asal tidak ditambahi kecap” kata Susilo.

            “Tapi pembeli lain suka dicampur kecap, terutama bakmi goreng” kata Whani lagi.

            “Itu soal selera. Ada yang memilih kecap asin. Selera tidak bisa diperdebatkan” ujar Susilo.

            “Kamu sudah berapa lama jual bakmi jawa di sini?” tanya Susilo pada Whani.

            “Sudah satu tahun” jawab Whani pendek.

            “Sudah banyak pelanggan?” tanya Susilo lagi.

            “Belum. Setiap hari tidak lebih dari 15 pembeli. Pelanggan satu-satunya, yang rutin datang hanya pak Sus” kata Whani.

            “Aneh, padahal bakmimu enak, terutama bakmi godhognya, kok tidak banyak orang datang menjadi pelanggan” Susilo seperti tidak percaya.

            “Nah, itu dia. Orang yang datang setiap hari selalu berganti-ganti” ujar Whani.

            “Mungkin warungmu perlu penglaris?” Susilo mengajukan usul

            “Ah, pak Sus ini ada-ada saja.Pikirannya aneh. Resikonya berat memelihara penglaris” kata Whani.

            “Lha, yang kamu mengerti penglaris itu apa” tanya Susilo.

            “ Ya, ya, itu yang berkaitan dengan hal-hal yang disebutnya sebagai klenik” ujar Whani.

            “Sekarang ini, jaman digital. Penglaris bukan dalam pengertian tradisional, yang memerlukan syarat aneh-aneh” kata Susilo.

            “Lalu?” Whani tambah bingung.

            “Publikasikan warungmu melalui media sosial. Kalau pas ada banyak orang yang datang di warungmu, difoto dan upload di media sosialmu agar orang tahu, bahwa warungmu ada banyak pelanggan” Susilo seolah menasehati.

            “Itu sudah saya lakukan, sejak saya mulai membuka warung ini” kata Whani sambil memperlihatkan publikasi ‘Warung Bakmi Jawa simbokku” yang ada di facebook, instragram dan whatshapp.

            Susilo manggut-manggut melihat foto-foto yang diunggah di media sosial. Dalam foto itu terlihat foto Susilo sedang menikmati bakmi godhog, dan di warung itu ada beberapa orang yang sedang makan menikmati bakmi jawa racikan Whani.

         “Lho, ini ada foto saya” Susilo pura-pura kaget sambil menunjuk foto dirinya.

         “Pak Susilo pelanggan kami, fotonya tak bisa dilewatkan” kata Whani sambil tertawa.

          Susilo tertawa sambil menatap Whani, yang sedang tertawa lepas. Keduanya tertawa, seolah seperti sedang menemukan kebahagiaan.

         “Kalau publikasi di media sosial jangan hanya sekali. Tetapi harus sesering mungkin dengan foto pengunjung bergantian. Fotonya jangan selalu orang yang sama” ujar Susilo.

          Whani hanya tersenyum sambil melihat piring pak Susilo sudah bersih. Bakmi godhogmu tandas dihabiskan.

            “Lapar ya pak’ tanya Whani.

            “Wah, kalau ini ngece” Susilo nyengenges sambil menyeruput teh jahenya dan menggeser piring yang sudah ludes dekat duduk Whani.

            “Bukan ngece. Menegaskan” kata Whani sambil tersenyum.

            “Ya,ya. Tak terima dengan hati tulus” ujar Susilo sambil mengeluarkan uang untuk membayar.

            Hari-hari berikutnya, merespon saran dari Susilo. Whani meminta anaknya mengupload situasi warung bakmi Jawanya. Para pembeli yang sedang menikmati bakmi jawa atau yang membeli untuk dibawa pulang, tak luput dari bidikan kamera HP, dan dalam hitungan detik sudah pindah di status facebook Whani, yang diupload oleh anaknya. Selalu ada respon dari sahabat-sahabat di facebook, dan tidak jarang responya menanyakan rasa dari bakmi jawa racikan Whani.

            “Tampaknya enak kalau dilihat dari sajian foto bakmi gorengnya” komentar salah seorang teman di facebook.

            “Lumayan menggigit, saya sudah dua kali mencoba makan di warung bakmi jawa ini’ teman facebook yang lain mencoba merespon.

            “Saya pernah mencoba sekali bakmi godhong terlalu asin, terus malas kembali lagi ke warung itu” teman yang lain menimpali.

            Membaca komentar dari teman di facebook, yang komplain soal rasa asin. Whani  termangu. Mencoba mengingat-ingat, mungkin ada yang dia lupa, sudah diberi garam, dan ditambah lagi, karena seperti merasa belum memberi garam, dan celakanya tidak diicipi dulu seperti biasanya.

            “Oh, maaf kalau kasinen. Cobalah kembali tak kasih gratis satu piring sebagai ganti rasa asin itu” Whani menanggapi.

            Kawan dari facebook merespon dengan gambar wajah senyum dan jempol.

            Whani berharap, orang itu sungguh kembali ke warungnya, dan dia akan menebus kesalahannya dengan memberikan gratis satu piring.

            Sejak publikasi melalui media sosial mulai sering dilakukan, dan orang yang membeli juga mengambil foto dan diupload melalui media sosial. Warung Bakmi Jawa Simbokku milik Whani mulai tambah pembeli. Setiap hari selalu saja ada yang datang makan di warungnya dan ada yang membeli untuk dibawa pulang.

            Lagi-lagi Susilo datang, kali ini mengajak temannya yang bernama Eswe. Temannya ini masih sangat muda. Susilo sengaja mengajak Eswe karena ia juga penggemar bakmi jawa, hanya saja seleranya berbeda dengan Susilo. Eswe suka bakmi goreng kuning, dan Susilo bakmi godhog kuning.

            Whani sudah tahu selera pesanan Susilo, tanpa mengajukan pesan langsung saja dibuatkan bakmi godhog kuning tanpa kecap dan dirajangi lombok 3 biji. Sesaat Susilo duduk sambil merokok dan menikmati teh jahe gula batu, Whani sudah mulai memasakkan pesanan rutin Susilo, dan tidak lama segera disuguhkan.

            “Silahkan Pak Sus, ini bakmi kesukaannya” kata Whani sambil menyodorkan sepiring bakmi godhog.

            Susilo hanya batuk dan segera menikmati bakmi godhog kesukaannya.

            “Saya bakmi goreng kuning tanpa kecap” kata Eswe.

            “Pakai cabe juga?” tanya Whani

            “Tidak usah, nanti saya nyeplus cabe yang ada di meja itu” jawab Eswe.

            Sambil  menemani dua orang makan, Whani cerita soal penglaris yang disarankan Susilo, dan kelihatan ada hasilnya. Whani mengucapkan terimakasih pada Susilo.

            “Mas Sus menyarakan bakmi ini menggunakan penglaris ya. Klenik betul tabiatmu mas” Eswe berhenti makan bakmi dan menatap Susilo.

            “Kalau tidak mengerti konteksnya tidak usah komentar. Habiskan bakmi gorengmu” kata Susilo menatap Eswe.

            Whani menimpali apa yang dikatakan Susilo, untuk menjelaskan perihal penglaris sarannya.

            “Mas Eswe, penglaris yang disarankan Pak Susilo bukan bersifat klenik. Tapi sangat modern dan milenial” kata Whani.

            “Maksudnya modern dan mileneal?” tanya Eswe

            ‘Setiap orang yang membeli di warung ini, fotonya diupload melalui media sosial, agar orang dari manapun bisa mengerti warung ini dikunjungi banyak orang dari beragam usia” ujar Whani.

            Eswe tersenyum sambil melihat Susilo, dan mengacungkan jempol.

            Susilo menatap Eswe tanpa ekspresi. Seolah tidak menganggap penting responnya, atau hanya dianggap basa-basi.

            “Sebetulnya ada resep lain untuk bisa laris” kata Eswe.

            “Oh, resep apa itu mas?” Whani penasaran.

            “Ya, selain media sosial, mengajak orang yang mempunyai selera makan, dan omongannya dipercaya, bahkan kalau orang itu tersenyum, orang lain segera tahu, bahwa makanan yang dinikmatinya sangat enak” kata Eswe.

            “ Memang ada orang seperti itu?” tanya Whani penasaran.

            “Ada. Namanya Butet, orang ini memiliki kecerdasan lidah sehingga dengan mudah mengerti makanan yang enak, kalau dia makan sambil tertawa, artinya makanannya enak” Eswe menyakinkan Whani.

            “Mas Eswe kenal orang itu?” tanya Whani.

            “Kenal, dia sahabat baik saya” lagi-lagi Eswe berusaha meyakinkan.

            Whani akhirnya meminta Eswe untuk mengenalkan pada Butet, dan akan dia minta untuk makan di warungnya. Waktunya, diserahkan pada Butet kapan dia bisa. Kalau ada biaya yang diperlukan, nanti akan diberikan kalau memang senyuman Butet bisa memberi berkah pada warungnya.

            “Soal biaya, tidak perlu direpotkan. Nanti kalau sudah terbukti, baru bisa memberi imbalan melalui saya” kata Eswe.

            Whani setuju, sambil berharap senyum Butet memberi berkah.

            Susilo hanya mendengarkan pembicaraan Whani dan Eswe, tanpa memberi komentar. Karena Susilo juga kenal Butet, soal kecerdasan lidah Butet Susilo percaya, tetapi soal senyuman Butet, ini yang membuat Susilo geleng-geleng kepala pada Eswe.

            Akhirnya Butet diajak ke warung Whani oleh Eswe dan Susilo. Butet memang penggemar bakmi jawa. Seleranya berbeda dengan Susilo dan Eswe. Butet lebih suka bakmi goreng putih tanpa kecap.

            Pada saat Butet makan di Warung Whani, Eswe sambil makan mengajak guyon Butet, dan di tengah makan Butet tertawa lepas, dan hal itu diabadikan oleh Eswe melalui kamera HP-nya, Whani juga memotret melalui HP-nya. Peristiwa itu oleh Eswe langsung diupload di facebooknya sambil diberi komentar.

            “Butet tertawa lepas menikmati Bakmi Jawa Simbokku” tulis Eswe di facebooknya.

            Butet meresponnya dengan memberi komentaar: “Tak ada duanya”.

            Setelah peristiwa itu, warung Bakmi Jawa Simbokku dikunjungi oleh banyak pembeli. Whani merasa senang dan seperti janjinya pada Eswe, Whani memberi uang Rp. 500.000 pada Eswe untuk diberikan pada Butet, dan setiap Eswe datang ke warung Whani, ia mendapat jatah sepiring bakmi.

            Whani senang, warungnya banyak pelanggan. Susilo masih tetap menjadi pelanggan. Eswe seminggu sekali kadang datang untuk makan bakmi, ia datang sendirian, dan harinya berbeda dengan Susilo.

            Suatu hari, Butet datang ke warung Whani ditemani Si Ong, sahabat karibnya. Ong seleranya sama dengan Susilo, bakmi godhog, hanya tanpa rajangan cabe.

            “Pak Butet terimakasih sudah bersedia datang di warung ini, dan ketika menikmati bakmi sambil tertawa lepas sehingga senyumnya memberi berkah membuat warung saya banyak pelanggan” kata Whani.

            Butet bingung. “Lho, ada apa ini?” tanya Butet.

            “Kata mas Eswe, kalau Pak Butet mau makan di warung ini dan saat makan tersenyum lepas bisa memberi berkah warung ini, dan kalau pelanggannya banyak saya diminta memberi uang Rp. 500.000 pada Pak Butet, dan uang itu sudah saya titipkan pada mas Eswe.

            Butet tertawa lepas sambil menikmati bakmi racikan Whani sambil melihat Si Ong yang juga ikut tertawa lepas.

            “Iblis kere” kata Butet sambil tertawa.

            Si Ong juga tertawa sambil mengucapkan kata “Miskin, julig”.

            Whani hanya memperhatikan Butet dan Si Ong saling mengucapkan kata yang tidak dimengerti benar konteksnya.

            “Tiap minggu mas Eswe datang makan ke sini dan selalu minta gratis” Whani menyampaikan informasi pada Butet.

            Lagi-lagi Butet dan Si Ong tertawa lepas.

            Bagi Whani, tawa keduanya akan memberi berkah lebih, dan ia telah memotretnya berkali-kali.***

           



Ons Untoro, tinggal di Yogyakarta. Sejumlah puisinya masuk dalam berbagai antologi puisi bersama penyar Indonesia di tahun yang berbeda-beda. Antologi puisi tunggal,  Mengenali Yogya (2012), Pastor Menikah (2016), Obituari: Mereka yang Telah Pergi (2017), Membaca Tanda: Esai-esai Tentang Kebudayaan (2019), Penyair di Tengah Pandemi (2021, Novelet), Isoman Ramuan Imajinasi  (2022).